Saturday, April 27, 2013

MAKALAH MAHAR PERNIKAHAN


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Pernikahan adalah suatu peristiwa yang fitrah, tarbiyah, dan sarana paling agung dalam memelihara kontinuitas keturunan dan memperkuat hubungan antarsesama manusia yang menjadi sebab terjaminnya ketenangan, cinta dan kasih saying. Oleh karena itu, syariat Islam sangat memperhatikan segala permasalahan di dalamnya, yang disebut al-ahwal asy-syakhshiyyah (Hukum yang berkaitan dengan pernikahan, talak, mahar, keturunan dan lain-lain). Pernikahan merupakan suasana salihah yang menjurus kepada pembangunan serta ikatan kekeluargaan, memelihara kehormatan dan menjaganya dari segala keharaman, nikah juga merupakan ketenangan dan tuma'ninah, karena dengannya bisa didapat kelembutan, kasih sayang serta kecintaan diantara suami dan isteri.
Nikah bisa dimanfaatkan untuk membangun keluarga salihah yang menjadi panutan bagi masyarakat, suami akan berjuang dalam bekerja, memberi nafkah dan menjaga keluarga, sementara isteri mendidik anak, mengurus rumah dan mengatur penghasilan, dengan demikian masyarakat akan menjadi benar keadaannya. Allah berfirman dalam surat al-rum ayat 21.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
 Artinya: “dan diantara tanda-tanta kekuasaan allah ialah menciptakan untukmu istri-isri dari sejenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tentram padanya, dan dijadikan-Nya di antramu raa kasih da sayang. akamu yang berpikir”.(QS Al-Arum 30: 21)
Setiap akad pernikahan dari berbagai akad selama dilaksanakan dengan sempurna dan sah dapat menimbulkan beberapa pengaruh. Apalagi akad pernikahan yang merupakan akad yang agung dan penting mempunyai pengaruh yang lebih agung. Terjadinya akad nikah semata akan menimbulkan beberapa pengaruh, diantaranya hak istri kepada  suami. Dan hak-hak istri yang wajib dilaksanakan suami adalah salah satunya adalah mahar. Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan  atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad pernikahan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas dapatdirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Pengertian dan definisi mahar ?
2.      Bagaimanakah hukum mahar prespektif islam dan hukum positif ?
3.      Bagaimanakah dasar hukum mahar dalam Al-Qur’an dan hadits ?
4.      Berapakah ukuran mahar ?
5.      Apa sajakah benda yang bisa dijadikan mahar ?
6.      Apasajakah macam-macam mahar ?
7.      Bagaimana dengan mahar tunai dan kredit ?
8.      Bagaimanakah kekuatan dan pengaruh mahar ?
9.      Bagaimana hal-hal yang mempengaruhi mahar ?
10.  Apa yang menyebabkan kerusakan mahar ?
11.  Apa Hikmah disyariatkan mahar ?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagaimana berikut :
1.      Untuk mengetahui pengertian dan definisi mahar.
2.      Untuk mengetahui hukum Mahar prespektif Islam dan hukum positif.
3.      Untuk mengetahui hukum mahar dalam Al-Qur’an dan hadits.
4.      Untuk mengetahui ukuran mahar.
5.      Untuk mengetahui benda yang Bisa Dijadikan Mahar.
6.      Untuk mengetahui macam-macam mahar.
7.      Untuk mengetahui mahar tunai dan kredit.
8.      Untuk mengetahui bagaimana kekuatan dan pengaruh mahar.
9.      Untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi mahar.
10.  Untuk mengetahui penyebabkan kerusakan mahar.
11.  Untuk mengetahui hikmah disyariatkan mahar.

1.4 Manfaat Penulisan
1.      Memberi pengetahuan baru tentang mahar pernikahan.
2.      Memberi cakrawala baru pada pembaca perihal mahar pernikahan.
3.      Memberi pengetahuan baru kepada pembaca perihal mahar pernikahan.
4.      Bagi peneliti, makalah ini sebagai penambah ilmu pengetahuan dan wawasan.
5.      Bagi pihak lain, makahlah ini sebagai bahan pertimbangan dan acuan untuk penelitian lebih lanjut.

1.5  Metode Penulisan

Dari pembuatan dan penulisan makalah “Mahar Pernikahan” ini, penulis (kelompok) menggunakan metode studi pustaka yaitu salah satu metode yang digunakan dalam penulisan Karya Tulis (makalah) dengan cara mengumpulkan literatur baik berasal dari berbagai buku dan mencari inti-inti pembahasan mahar. Sehingga menjadi sebuah bahasan yang menarik pada makalah ini.














BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Pengertian Mahar
Pengertian mahar secara etimologi berarti maskawin. Sedangkan pengertian mahar menurut istilah ilmu fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya dalam kaitannya dengan perkawinan.
Kemudian menegnai depinisi mahar ini dalam Kompilasi Hukum Islam, juga dijelaskan  mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik bebentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.[1]
Mahar dalam bahsa Arab Shadaq. Asalnya isim masdar dari kata ashdaqa, masdarnya ishdaq diambil dari kata shidqin (benar) . dinamakan shadaq memberikan arti benar-benar cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau maskawin. Pengertian menurut mahar syara’ adalah sesuatu pemberian yang wajib sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan secara paksa seperti menyusui dan ralat para saksi.
Mengikut Tafsiran Akta Undang-Undang Keluarga Islam ( Wilayah Persekutuan ) 1984  menyatakan “ mas kahwin “  bererti pembayaran perkahwinan yang wajib dibayar di bawah Hukum Syara’ oleh suami kepada isteri pada masa perkahwinan diakadnikahkan, sama ada berupa wang yang sebenarnya dibayar atau diakui sebagai hutang dengan atau tanpa cagaran, atau berupa sesuatu yang, menurut Hukum Syara’, dapat dinilai dengan uang.   
Pemberian mahar suami sebagai lambang kesungguhan suami terhadap isteri. Selain itu ianya mencerminkan kasih sayang dan kesediaan suami  hidup bersama isteri serta sanggup berkorban demi kesejahteraan rumah tangga dan keluarga. Ia juga merupakan penghormatan seorang suami terhadap isteri. 


2.2       Hukum Mahar prespektif Islam dan Hukum Positif
            Berkata Syaikh Abu Syujak :
( فصل:ويستحب تسميت المهر في النكاه,فإلن لم يسم صح العقد ووجب مهر المثل بثلاثة أشياء:أن يفرضه الحاكم أويفرضه الزوجان أويدخل بها,فيجب مهر المثل )
Disunnahkan menyebut maskawin (mahar) dalam nikah. Jika mahar tidak disebutkan akad tetap sah dan wajiblah maskawin yang seimbang (mahrul-mitsli) dengan tiga hal, yaitu kalau hakim menentukan mahar misil, atau suami istri menentukannya, atau sudah bersetubuh (dukhul) dengannya maka wajiblah mahar misil”.
وَآتُواْالنَّسَاءصَدُقَاتِهِنَّنِحْلَةً. (النساء:٤)-
 “Berilah perempuan yang kamu kawini itu suatu pemberian (maskawin)
Dari sunnah ialah sabda Nabi s.a.w.:
إلتمس ولو خاتم من حديد.
Carilah walau hanya sebentuk cincin dari besi (yakni untuk maskawin)”.
Disunnahkan hendaknya nikah itu tidak diakad melainkan dengan maskawin, karena mengikuti jejak Rasulullah s.a.w., sebab beliau tidak mengadakan akad nikah melainkan dengan sesuatu yang disebutkan (maskawin), dan karena dengan begitu lebih menjauhkan perselisihan di belakang hari. Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Alhusaini dalam kitab ‘Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh)’.
Imam Syafi’I mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota tubuhnya. Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.
Dalam komplikasi Hukum Islam (KHI), permasalahan mahar terdapat dalam BAB V Pasal 30 sampai dengan Pasal 38. Adapun materi dari pasal-pasal sebagai tersebut :
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak;
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam;
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya;
Pasal 33
1.      Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai;
2.      Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.
Pasal 34
1.      Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dan syarat dalam perkawinan;
2.      Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih berutang tidak mengurangi sahnya perkawinan;
Pasal 35
1)      Suami yang mentalak istrinya qabla al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
2)      Apabila suami meninggal dunia qabla al-dukhul, seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istrinya.
3)      Apabila perceraian terjadi qabla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya, atau dengan barang lain yang sama nilainya, atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diselesaikan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
1.      Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.
2.      Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus mengganti dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantiannya belum diserahkan, mahar masih belum dianggap masih belum dibayar.

2.3       Dasar Hukum Mahar dalam Al-Qur’an dan Hadits
Telah terkumpul banyak dalil tentang pensyariatan mahar dan hukumnya wajib. Suami, istri, dan para wali tidak mempunyai kekuasaan mepersyaratkan akad nikah tanpa mahar.
            Dalil kewajiban mahar dari Al-Quran adalah firman Allah SWT:
وَءَاُتوا االنِّسَاءَ صَدُ قَتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (QS. An-Nisa’:4)
            Demikian juga firman Allah SWT:
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَئَاتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. (QS. An-Nisa’:24)
            Dalil disyariatkannya mahar juga ada pada beberapa hadits Nabi SAW:
عن عامر بن ربيعة ان امرأة من بنى فزارة تزوجت على نعلين فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أرضيت عن نفسك ومالك بنعلين, فقالت: نعم. فأجا زه (رواه احمد و ابن ماجه والترمذى)
Dari ‘Amir bin Robi’ah: Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazaroh kawin atas maskawin sepasang sandal.  Rasulullah SAW. Lalu bertanya kepada perempuan tersebut: Apakah engkau ridho dengan maskawin sepasang sandal? Perempuan tersebut menjawab: Ya.  Rasulullah akhirnya meluluskannya”. (HR. Ahmad)
            Juga sabda Rasulullah SAW:
تَزَوَّجْ وَلَوْ بِخَاتِمٍ مِنْ حَدِيْدٍ
            “Kawinlah engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi”. (HR. Bukhori)
            Hadits di atas menunjukkan kewajiban mahar sekalipun sesuatu yang sedikit. Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi SAW bahwa beliau meninggalkan mahar pada suatu pernikahan. Andaikata mahar tidak wajib tentu Nabi SAW pernah meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya yang menunjukkan tidak wajib. Akan tetapi beliau tidak pernah meninggalkannya, hal ini menunjukkan kewajibannya.[2]
Ibnu Abbas mengisahkan,
لَمَّا تَزَوَّجَ عَلِّي فَاطِمِةَ قال رسول الله صلى عليه وسلم: أَعْطِهَا شَيْئًا, فقال: مَا عِنْدِيْ
 مِن شَيءٍ, قال: اَيْنَ دِرْعُكَ الحُطَمِيَّةُ؟ قال: هِيَ عِنْدِي, قال: فَأَعْطِهَا اِيَّاهُ.
Ketika Ali ibn Abi Thalib menikahi Fathimah, Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Berilah ia sesuatu (mahar)”, Ali menjawab: “Aku tidak memiliki apa-apa”, Rasulullah SAW bertanya: “Mana baju besimu?”, Ali menjawab: Ada padaku”, maka Rasulullah SAW bersabda: “Berikan itu kepadanya”. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa mahar merupakan salah satu rukun pernikahan. Akan tetapi mahar itu tidak harus disebutkan dalam akad nikah.
Allah SWT berfirman,
لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَالَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً....
Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya….”  (QS. Al-Baqarah:236)
Ibnu Al-Jauzi berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa mahar boleh tidak disebutkan dalam akad nikah”. Akan tetapi, demi menghindari perbedaan pendapat dan pertikaian, mahar itu lebih baik disebutkan disaat pelaksanaan akad nikah.[3]
Adapun ijma’ telah terjadi konsensus sejak masa kerasulan beliau sampai sekarang atas disyariatkannya mahar dan wajib hukumnya. Kesepakatan ulama pada mahar hukumnya wajib. Sedangkan kewajibannya sebab akad atau sebab bercampur intim, mereka berbeda pada dua pendapat. Pendapat yang lebih shahih adalah sebab bercampur intim sesuai dengan lahirnya ayat.[4]

2.4       Ukuran Mahar
Fuqoha’ sepakat bahwa mahar tidak memiliki ukuran batas yang harus dilakukan dan tidak boleh melebihinya. Ukuran mahar diserahkan kepada kemampuan suami sesuai dengan pandangannya yang sesuai. Tidak ada dalam syara’ suatu dalil yang membatasi mahar sampai tinggi dan tidak boleh melebihinya. Sebagaimana firman Allah :
مُّبِيناً وَإِثْماً بُهْتَاناً أَتَأْخُذُونَهُ شَيْئاً مِنْهُ تَأْخُذُواْ فَلاَ قِنطَاراً إِحْدَاهُنَّ وَآتَيْتُمْ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ اسْتِبْدَالَ أَرَدتُّمُ وَإِنْ
غَلِيظاً مِّيثَاقاً مِنكُم وَأَخَذْنَ بَعْضٍ إِلَى بَعْضُكُمْ أَفْضَى وَقَدْ تَأْخُذُونَهُ وَكَيْفَ
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.
Umar ra ketika hendak mencegah manusia berlebih-lebihan dalam mahar dan melarangnya lebih dari 400 dirham dan diceramahkan di hadapan manusia. Ia berkata: “Ingatlah, jngan berlebihan dalam mahar wanita, sesungguhnya jika mereka terhormat di dunia atau takwa di sisi Allah sungguh Rasulullah SAW orang yang paling utama di antara kalian.” Beliau tidak memberikan mahar pada seorang wanita dari para istri beliau dan putra-putri beliau lebih dari 12 uqiyah. Barangsiapa yang memberi mahar lebih dari 400 dirham maka tambahan itu dimasukkan uang kas. Lantas ada seorang wanita dari qurais berkata: “Bukan demikian hai Umar.” Sahut Umar: “Mengapa tidak…” Wanita berkata:”Karena Allah berfirman: Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yng banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun (QS. An-Nisa’ (4): 20).” Beliau berkata: “Allah maaf, Umar bersalah dan benar wanita ini.” Selanjutnya beliau berkata: “Dulu aku mencegah kamu melebihi 400 dirham untuk mahar wanita, barangsiapa yang berkehendak berilah dari hartanya yang disukai.”
Sekalipun fuqoha’ sepakat bahwa tidak ada batas maksimal dalam mahar, tetapi seyogianya tidak berlebihan, khususnya di era sekarang. Hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW bersabda:
أَقَلُّهُنَّ مُهُوْرًا أَكْثَرُهُنَّ بَرَكَةً
          Wanita yang sedikit maharnya lebih banyak berkahnya.
خَيْرُالصَّدَاقِ أَيْسَرُهُنَّ
            Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.[5]
            Ulama Syafi’iyah, Imam Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur berpendapat tidak ada batas minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja yang mempunyai nilai materi, baik sedikit maupun banyak. Alasannya, karena beberapa teks Al-qur’an yang menjelaskan tentang mahar dengan jalan kebijaksanaan, layak baginya sedikit dan banyak. Sebagaimana firman Allah SWT :
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa’ (4): 4)
 وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa’ (4): 24)
وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan berilah mahar mereka menurut yang patut.” (QS. An-Nisa’ (4): 25)
Di antara sunnah, hadis yang diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah menikah atas sepasang dua sandal. Rasulullah bertanya:
رَظِيْتِ عَنْء نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ ؟ فَقَالَتْ : نَعَم, فَأَجَازَهُ
Apakah kamu rela dari dirimu dan hartamu dengan sepasang dua sandal ? Wanita itu menjawab: “Ya aku rela” maka beliau memperbolehkannya. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)
Dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda :
لَوْأَنَّ رَجُلَا أَعْطَى امْرَأَةَ صَدَاقَا مِلْءَيَدَيْهِ طَعَامًا كَانَتْ لَهُ حَلَا لاً
Jikalau bahwa seorang laki-laki memberi mahar kepada seorang wanita berbentuk makanan sepenuh dua tangannya, maka halal baginya. (HR. Ahmad)
Hadis di atas menunjukkan bahwa apa saja yang bernilai material walaupun sedikit, sah dijadikan mahar. Demikian pula hadis yang diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda kepada seseorang yang ingin menikah:
أُنْظُرْ وَلَوْ خَاتَمَا مِنْ حَدِيْدٍ
Lihatlah walaupun sebuah cincin dari besi. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Teks-teks hadis di atas menunjukkan secara tegas bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar, tetapi segala sesuatu yang dinilai material patut menjadi mahar.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa minimal sesuatu yang layak dijadikan mahar adalah seperempat dinar emas atau tiga dirham perak. Karena Abdurrahman bin ‘Auf menikah atas emas seberat biji kurma, yaitu seperempat dinar dan ukuran itulah nishab pencurian menurut mereka. Artinya, harta seukuran itu mempunyai arti nilai dan kehormatan berdasarkan dipotong tangan pencurinya dan tidak dipotong di bawah ukuran itu, maka itulah batas ukuran minimal mahar.
Ibnu Syabramah berpendapat, uluran minimal mahar adalah 5 dirham, Said bin Jubair berpendapat bahwa minimal 50 dirham sedangkan An-Nukhai berpendapat 40 dirham. Ukuran tersebut didasarkan pada sebagian peristiwa kejadian yang diperkirakan pada ukuran tersebut dan dianalogikan dengan nisab pencurian menurut masing-masing mereka.
Menurut madzhab Hanafiyah, yang diamalkan dalam ukuran minimal mahar adalah 10 dirham. Ukuran ini sesuai dengan kondisi ekonomi yang berlaku, yakni 25 Qursy. Dasar mereka adalah hadis yang diriwayatkan Jabir dari Nabi SAW bersabda :
لاَمَهْرَأَقَلَّ مِنْ عَشْرَةِ دَرَاهِمِ
            Tidak ada mahar yang lebih minim dari 10 dirham.
            Pendapat yang kuat menurut kita adalah pendapat Imam Asy-Syafi’I dan Ahmad, karena hadis yang disandarkan kepadanya yang paling shahih tentang hal tersebut menurut kesepakatan para ulama. Sedangkan yang disandarkan kepada yang lain tidak shahih.

2.5       Benda yang Layak Dijadikan Mahar
Fuqaha’ sepakat bahwa harta yang berharga dan maklum patut dijadikan mahar. Oleh karena itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas dan lain-lain sah dijadikan mahar karena ia bernilai material dalam pandangan syara’. Sebagaimana pula mereka sepakat bahwa sesuatu yang tidak ada nilai material dalam pandangan syara’ tidak sah untuk dijadikan mahar seperti babi, bangkai dan khamr.
Mereka berbedda pendapat tentang jasa atau manfaat, apakah sah jika dijadikan mahar, seperti seseorang menikahi seorang perempuan dengan mahar talak istrinya atau diajarkan Alquran. Dalam contoh pertama, para ulama terjadi perbedaan. Ulama Syafi’iyah[6] bersam Ulama Hanabilah dalam suatu riwayat berpendapat bahwa sah dengan mahar tersebut karena bolehnya mengambil pengganti. Sedangkan dalam contoh kedua, Ulama Syafi’iyah dan Imam Hazm memperbolehkannya berdasarkan hadis: Aku nikahkan engkau padanya dengan mahar sesuatu yang ada bersam engkau dalam Alquran.
Dalam hal ini Asy-Syairazi berpendapat, diperbolehkan mahar dengan sesuatu yang bermanfaat seperti pengabdian, pengajaran Al-Qur’an, dan lain-lain dari hal-hal yang brmanfaat dan diperbolehkan berdasarkan firman Allah SWT:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ
Dia (Syaikh Madyan) berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun (QS. Al-Qashash(28): 27).
Dalam ayat di atas pengembalaan dijadikan mahar. Nabi juga pernah menikahkan seorang wanita yang menghibahkan dirinya kepada peminangnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang dihafal. Mahar tidak boleh sesuatu yang haram seperti mengajarkan Taurat dan mengerjakan Al-Qur’an kepada wanita dzimmiyah (nonmuslimah yang patuh bernegara di negara Islam), ia mempelajarinya bukan karena cinta Islam.
Mahar tidak senantiasa berupa uang atau barang. Dikalangan santri, pernah terjadi pernikahan dengan maskawin berupa kesanggupan calon suami untuk memberi pelajaran terhadap calon istrinya membaca kitab suci al-Quran sampai tamat, dikalangan para santri lebih dikenal dengan istilah khatam al-Quran.
Syarat-syarat dan manfaat yang boleh dijadikan mahar menurut para ahli fikih beragam, antara lain: menurut ulama Syafi’iyah, manfaat yang dimaksud adalah sesuatu yang dijadikan mahar tersebut mempunyai nilai dan bisa diserahterimakan baik secara konkrit maupun syariat. Ulama Syafi’iyah menganggap tidak sah bagi orang yang mengajarkan satu kata atau satu ayat pendek yang mudah, apalagi diajarkan kepada orang kafir zimmi bukan dengan tujuan masuk Islam.
Berbeda lagi dengan ulama Hanabilah, mereka berpendapat bahwa manfaat yang dimaksud dalam mahar ini adalah semua manfaat yang diketahui secara pasti serta dapat diambil manfaatnya, karena manfaat disini dianggap sebagai imbalan dalam akad tukar menukar.
Sedangkan Malikiyah memberikan syarat bahwa, mahar berupa manfaat tersebut harus diketahui dan dari benda yang baik. Dalam hal ini, ulama Malikiyah terbagi menjadi 3 pendapat yang berbeda, yaitu :
Menurut pendapat ibnu Qasim tidak boleh.
Imam Malik sendiri mengatakan boleh tapi makruh.
Ashbagh dan Suhnun mereka berpendapat bahwa mahar manfaat itu boleh tapi makruh.
Ulama yang keempat adalah ulama Hanafiyah, ulama yang berpendapat bahwa manfaat yang akan dijadikan mahar harus manfaat yang dapat diukur dengan harta, seperti mengendarai kendaraan, menempati rumah atau menanam sawah dalam waktu tertentu.

Berdasarkan keterangan di atas, syarat sah mahar adalah sebagai berikut.
1.                            Mahar tidak berupa barang haram, tidak sah mahar berupa khamr atau babi dan seterusnya.
2.    Tidak ada kesamaran, jika terdapat unsur ketidakjelasan maka tidak sah dijadikan mahar, sperti mahar berupa hasil panen kebun pada tahun yang akan datang atau sesuatu yang tidak jelas, seperti mahar rumah yang tidak ditentukan.
3.    mahar dimiliki dengan pemikiran sempurna. Syarat ini mengecualikan pemilikan yang kurang atau tidak sempurna, seperti mahar sesuatu yang dibeli dan belum diterima, pemilikan seperti ini pemilikan yang kurang atau tidak sempurna, tidak sah dijadikan mahar.
4.    mahar mampu diserahkan. Dengan syarat ini mengecualikan yang tidak ada kemampuan menyerahkan seperti burung di awang-awang atau ikan di laut. Tidak sah hal tersebut dijadikan mahar.[7]

2.6       Macam-macam Mahar
Adapun mengenai macam-macam mahar, ulama fikih sepakat bahwa mahar itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
A.    Mahar yang Disebutkan (Musamma)
Mahar yang disebutkan maksudnya mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik pada saat akad maupun setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah pihak mengadakan kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar.  Ulama fikih bersepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma wajib diberikan secara penuh apabila:
1.      Apabila telah senggama
2.      Apabila salah satu dari suami / istri meninggal dunia
Mahar tersembunyi dan mahar terbuka
Ada macam mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak sebelum akad kemudian diumumkan pada saat akad berbeda dengan mahar yang disepakati, baik dari segi ukuran maupun jenisnya.  Pada saat itu berarti sang istri dihadapkan pada dua mahar; pertama, pertama mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak sebelum akad dan mahar ini yang disebutkan mahar tersembunyi.  Kedua, mahar terubuka yang diumumkan dalam akad dihadapan orang banyak.  Mana mahar yang wajib bagi istri dalam kondisi seperti ini, apakah mahar tersembunyi atau mahar terbuka?
Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa mahar yang wajib adalah yang disebutkan dalam akad, karena akad inilah mahar menjadi wajib.  Yang wajib adalah yang disebutkan dalam akad, baik sedikit maupun banyak.  Jikalau mahar tersembunyi 1.000 dan mahar yangdiumumkan 2.000, kemudian mereka mengumumkan saat akad bahwa mahar 2.000maka itulah mahar yang wajib.  Apabila mengumumkan bahwa mahar 1.000, maka mahar yang wajib bagi istri adalah 1.000.[8]
Ulama Malikiyah berpendapat, jika kedua belah pihak bersepakat pada mahar tersembunyi dan dalam pengumuman berbeda dengan yang pertama, maka yang dipedomani adalah yang disepakiti kedua belah pihak yang tersembunyi tersebut.  Yang tersembunyi itu inilah yang wajib diberikan kepada istri dan yang disepakati dalam pengumuman tidak diberlakukan.
            Ulama Hanabillah memisahkan pada dua kondisi, yaitu:
1.      Jika kedua belah pihak mengadakan akad dengan mahar yang dirahasiakan, kemudian mengadakan akad lagi secara terbuka dan diumumkkan mahar yang berbeda dengan mahar akad yang pertama.  Dalam hokum kondisi seperti ini mahar yang diambil adalah mahar yang yang lebih banyak dari keduanya dan inilah yang wajib diberikan kepada istri.
2.      Jika kedua belah pihak bersepakatan pada mahar sebelum akad kemudian mereka mengadakan akad setelah kesepakatan tersebut yang lebih banyak dari mahar yang disepakati.  Karena penyebutan yang benar pada akad yang benar pula, mahar yang disebutkan dalam akad wajib diberikan kepada istri dan tidak usah memperhatikan penyebutan yang disepakati sebelum akad seolah-olah tidak ada.

Menurut Ulama Hanafiyah, mahar tersembunyi dan terbuka ini dibagi dlam dua kondisi:
1.      Jika kedua belah pihak ketika akad tidak mengatakan bahwa mahar dari mereka 1.000 karena ingin popular (sum’ah), mahar dalam kondisi ini adalah apa yang disebutkan secara terbuka yaitu 2.000
2.      Jika kedua belah pihak mengatakan dalam akad 1.000 dari 2.000 karena mereka yang secara sembunyi yakni 1.000 junaih. Ini lahirnya riwayat Abu Hanifah, yakni pendapat dua sahabatnya.  Diriwayatkan oleh Abu Hanifah juga bahwa mahar adalah yang diumumkan oleh mereka dalam akad, yaitu 2.000 junaih.

B.     Mahar yang Sepadan (Mitsil)

Maksud mahar mitsil adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa menyebutkna mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung, saudara perempuan tunggal bapak, dan seterusnya.

Menurut ulama Syafi’iyah yang dipedomani dalam mempertimbangkan mahar mitsil adalah dengan melihat beberapa wanita keluarga ashabah (sekandung atau dari bapak) perempuan untuk mencari persamaan ukuran mahar.  Yang perlu diperhatikan terhadap wanita-wanita keluarga ashabah perempuan ketika mencari ukuran mahar mitsil adalah dari segi status mereka terhadap perempuan, mereka satu sifat dengannya dan yang paling dekat dengan nya.  Artinya, jika saudara perempuannya yang sekandung yang sama sifat-sifatnya menikah dengna mahar 1.000 rupiah, maka mahar perempuan tersebut juga 1.000.  jika tidak memiliki saudara perempuan sekandung atau belum menikah atau sudah menikah tetapi tidak diketahui maharnya, mka dilihat dari saudara perempuannya tunggal bapak, putri saudara laki-laki sekandung, putri saudara laki-laki sebapak, kemudian saudara ke bawah dari dua arah mereka tersebut yang satu arah ke saudara perempuan kandung yang satu lagi saudara perempuan bapak.
Jika tidak ditemukan wanita-wanita ashabah perempuan di atas dalam arti tidak ada sama sekali atau ada tetap ibelum menikah atau sudah menikah tetapi tidak diketahui maharnya, pindah kepada wanita-wanita arham(keluarga ibu) dari perempuan tersebut secara tertib, yaitu ibu, nenek, bibi, putri saudara perempuan, putri bibi. Kita tidak pindah ke satu wanita dari mereka kecuali sebelumnya dihukumi tidak ada, atau belum nikah atau sudah nikah tetapi tidak diketahui maharnya.
Jika tidak ditemukan wanita keluarga arham (dari ibu) atau ada, tetapi belum menikah atau sudah menikah tetapi tidak diketahui maharnya.  Maka mahar wanita tersebut disamakan mahar wanita-wanita yang setara dengannya.  Akan tetapi lebih didahulukan wanita-wanita dalam negerinya atau negeri-negeri didekatnya.
Pertimbangan persamaan antara dua wanita yang sama dalam sifatnya adalah persamaan dalam usia, kecerdasan(IQ), kecantikan, kekayaan, kejelasan berbicara, keperawanan, karena nahar akan berbeda sebab perbedaan sifat-sifat tersebut.
Demikian juga yang harus dipertimbangkan adalah kondosi suami ketika menentukan ukuran mahar mitsil.  Kondisi suami seperti kaya, berilmu, memelihara haram, dan sejenisnya. Jikalau didapatkan wanita keluarga ashabah istri yang sama sifat-sifatnya dan kondisi suaminya juga sama, maka maharnya sama dengan wanita tersebut.  Jika tidak sama, maka tidak disamakan.

Beberapa Kondisi Wajib Mahar Mitsil

Penulis Syarah At-Tahir telah meringkas kondisi wajib mahar mitsil dengan perkataannya; wajib mahar mitsil pada lima tempat, yaitu: dalam nikah, bersenggama, Khulu’, meralat dari persaksian, dan persusuan.  Dalam mbeberapa kondisi ini mahar mitsil wajib dibayar dank an kami bahas secara perinci.
Kondisi pertama, akad nikah sah jika memenuhi syarat dan rukunnya.  Jika seorang wanita berkata kepada walinya; “nikahkan aku tanpa mahar” kemudian wali menikahkannya tanpa mahar atau menikahkanya tanpa menyebutkan mahar dalam akad atau wali menikahkannya dengan mahar kurang dari mahar mitsil atau dengan uang yang bukan dari negaranya atau ia menyebutkan mahar tertentu kemudian rusak di tangan suami sebelum diserahterimakan, atau kedua belah pihak mempersyaratkan syarat yang rusak seperti khamr.
Dalam bebagai contoh diatas, mahar mitsil wajib diberikan jika telah terjadi percampuran suami atau meninggal salah satunya.  Jika suami belum bercampur atau belum meninggal salah satunya maka wanita berhak menuntut mahar sebelum berhubungan, berhak menahan dirinya sehingga dibayar maharnya dan tidak ada kewajiban suatu sebab akad semata.  Sesungguhnya ia wajib hanya karena salah satu dari tiga hal, yaitu kerelaan wanita atau kewajiban dari pengadilan atau meninggal salah satunya.  Karena jika wajib sebab akad, ia mengambil separuh mahar sebab talak sebelum bercampur seperti mahar yang disebutkan.  Al-Qur’an menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban bersenang (mut’ah), sebab dalam akad mempunyai tuntutan agar dibayar maharnya.

Kondisi kedua, wajib mahar mitsil sebab bercampur syubhat.  Misalnya seorang laki-laki mendapati seorang wanita lain yang tidur ditempat istrinya, kemudian ia menduga wanita lain itu adalah istrinya sampai ia mencampurinya, setelah itu ia menyadari itu adalah bukan istrinya.  Atau seorang wanita pindah ketempat istri, suami menduga istrinya kemudian ia mencampurinya, dan ternyata itu bukan istrinya.  Dalam kondisi ini wajib dibayar mahar mitsil tanpa member keperawanan jika ia perawan, jika ia janda ia diberi mahar sebagai janda dan tidak wajib hukuman.  Demikian pernikahan yang rusak (fasid), nmisalnya seseorang menikahi perempuan tanpa wali dan saksi kemudian ia mencampurinya.  Seolah-olah hari kejadian rusak bukan hari akad karena tidak ada pengahargaan bagi akad yagn rusak.

Sebagai sabda Nabi SAW:

ايما امراة انكحت نفسِها بغير اذن وليها فنكاحها باطل، فان دخل فلها مهر مثلها
Wanita mana saja yang menikahkan dirinya tanpa seizing walinya, nikahnya batal, jika ia mencampurinya maka baginya mahar mitsil.
Kondisi ketiga, wajib mahar mitsilsebab khulu’. Misalnya, jika seorang wanita budak khulu’(mengajukan talak kepada suami dengan hadiah) tanpa seizing tuannya degan memberikan suatu benda, baik milik tuanna atau orang lain. Dalam kondisi ini, suami berhak mahar mitsil-nya yang dianalogikan dengan khulu’.
Kondisi keempat, wajib mahar mitsilkarena persusuan. Misalnya, jika seorang laki-laki berakad nikah dengan wanita yang masih bayi seusia persusuan dan memilki istri lain yang sudah dewasa.  Istri dewasa menyusui istri yang masih bayi tanpa seizing suami sampai lima kali susuan.  Bayi tersebut menjadi anaknya suami dalam persusuan dan haram atasnya, karena akad anak wanita mengharamkan ibunya, ia menjadi ibu bagi istri yang bayi. Dengan demikian, istri yang masih bayi mendapatkan separuh mahar yang disebutkan jika penyebutannya benar karena berpisah sebelum bercampur dan jika penyebutannya rusak, ia mendapatkan separuh mahar mitsil. Istri dewasa membayar separuh mahar mitsil kepada suami secara mutlaq, baik penyebutan mahar itu benar maupun rusak, karena ia meluputkan suami dari kehalalan seks istri yang masih bayi.
Kondisi kelima,wajib mahar mitsil karena persaksian.  Misalnya jika dua orang saksi laki-laki bersaksi kepada orang lain bahwa suami menalak istri nya dengan talak ba’in dan talak raj’I dan tidak kembali sampai masa iddah-nya.  Pengadilan mengeluarkan keputusan memisahkan mereka berdasarkan saksi tersebut.  Setelah itu dua orang saksinya meralat persaksiaannya dan berkata: “sesungguhnya apa yang kami persaksikan tidak benar”.  Dalam kondisi ini dua orang saksi wajib membayar mahar mitsil kepada suami, karena merekalah yang meluputkan suami dari kehalalan seks atas istrinya.

2.7       Mahar Tunai dan Kredit
Dalam fiqh Islam mahar dipandang sebagai hak yang wajib diberikan kepada istri, hanya suami tidak harus segera menyerahkan mahar istrinya  pada saat suksesnya akad pernikahan. Akan tetapi, boleh menurut kesepakatan, apakah tunai seluruhnya atau diutangkan seluruhnya atau dibayar sebagian dan utang sebagian (kredit).  Baik penangguhan itu dalam tempo yang dekat atau tempo yang lama, baik penangguhan itu pada tanggal tertentu atau waktu terdekat dari dua masa, yaitu meninggal atau talak, atau dikredit bulanan atau tahunan, semuanya bergantung pada kesepakatan.  Jika mahar disebutkan secara muthlaq dan kedua belah pihak  tidak ada kesepakatan tunai, kredit atau utang, keputusanna kembali kepada Urf’ pernikahan negeri di itu.
Diantara kaidah yang ditetapkan “Bahwa sesuatu yang dikenal secra uruf seperti yang dipersyaratkan dengan suatu syarat”. Urf mahar di sebagian daerah di Mesir, tunai separuh dan di utangkan separuh sampai waktu trdekat di antara dua masa (meninggal dan talak). Sebagian berpendapat bahwa asalnya mahar dibayar tunai, jika tidak menyebutkan sesuatu berarti seluruhnya tunai atau kontan diserahkan. Mengetahui pembayaran mahar itu tunai mempunyai dampak bahwa istri mempunyai hak mencegah penyerahan dirinya kepada suami sehingga mahar segera dibayar seluruhnya. Jika mahar diutangkan, suami tidak ada hak mencegah karena kehalalan tempo sebelum penyerahan dirinya, istri tidak memiliki hak mencegah.[9]

2.8       Kekuatan dan Pengaruh Mahar
Maksud kekuatan mahar adalah hal-hal yang memperkuat mahar sehingga tidak ada pengaruh pengguguran dan pengurangan. Ulama fiqh sepakat bahwa mahar menjadi kuat posisinya dengan salah satu dari tiga perkara berikut.
1.      bercampur. maksud bercampur adalah benar-benar bercampur. Artinya, terjadi hubungan seksual antara suami dan istrinya dengan memasukkan alat seks suami (dzakar) atau hanya sebatas perkiraan bagi yang kehilangan alatnya ke dalam vagina atau jalan belakang milik istri.[10]Dengan demikian, istri telah melaksanakan kewajiban terhadap suaminya dengan menyerahkan dirinya dan suami telah memenuhi haknya, yaitu dengan bercanpur. Hak istri menjadi kuat dalam menerima mahar secara sempurna, baik percampuran terjadi pada saat bersuci atau ditengah-tengah menstruasi dan atau ditengah-tengah ihramnya istri. Jika bercampur syubhat mewajibkan mahar maka bercampur dalam pernikahan lebih utama kekuatannya, percampurannya tidak disyaratkan berkali-kali tetapi sudah kuat dengan sekali bercampur. Bercampur yang benar-benar memperkuat mahar, baik mahar mitsil atau mahar yang disebutkan, baik baik disebutkan waktu akad atau setelahnya.
Jika keperawanannya dihilangkan dengan jari-jari tidak akan memperkuat mahar. Asy-Syairazi berkata: “Mahar menjadi kuat sebab bercampur pada faraj  (vagina) wanita” sebagaimana firman Allah SWT. :
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
Bagaimana kamu akan kembali, padahal sebagian kamutelah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (suami-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (QS. An-Nisa’ (4): 21)
2.      salah satu dari pasangan suami istri meninggal dunia. Jika salah satu dari pasangan suami istri meninggal dunia sebelum bercampur, posisi mahar tetap kuat. Istri atau warisnyatetap berhak menerimanya, baik meninggalnya wajar atau dibunuh suami atau dibinuh orang lain dan atau bunuh diri berdasarkan ijma’ para sahabat. Nikah tidak batal sebab kematian berdasarkan adanya hubungan waris. Kematian hanya akhir pernikahan dan akhir akad adalah terpenuhinya apa yang diakadkan.[11]
Jika istri membunuh suami, mahar gugur seluruhnya dan ia tidak berhak sesuatu apapun. Karena ia terhalang sebagai ahli waris apalagi mahar. Pembunuhan itu kriminal dan kriminal tidak dapat memperkuat mahar, bahkan melenyapkannya. Al-Khathib Asy-Syarbini berkata:”Jika wanita membunuh suaminya sebelum bercampur, mahar tidak berlebihan”.
Jika istri membunuh dirinya, mahar tidak bias gugur tetapi diberikan kepada ahli warisnya. Demikian menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah dan Hanafiyah kecuali Imam Zufar menurutnya, sebab dalam kondisi ini mahar menjadi gugur.
3.      Bersunyian yang sah. Maksudnya suami dan istri sebelum bercampurbersunyian di satu tempat yang aman dari penglihatan orang dan tidak ada seorang pun yang masuk, kedua pasang suami istri dapat melihat rahasia berdua dan tidak ada yang mencegah persanggamaan pada istri, baik secara hakiki, syar’I dan alami. Kemudian dating suatu pertanyaan, apakah dapat memperkuat mahar dengan bersunyian yang sah ?
Jawabnya, fuqaha’ dalam hal ini berbeda menjadi dua. Pendapat :
Pertama, bersunyian belaka tanpa bergaul intim tidak dapat memperkuat mahar bagi istri, ia hanya mendapatkan separuh mahar yang wajib diberikan sebab akad dan tidak ada pengaruh bersunyian dalam kewajiban mahar. Ini pendapat Asy-Syafi’I dalam qaul jaded-nya (fatwa di Mesir) dan Ulama Malikiyah, seperti yang dikemukakan Syuraih, Asy-Sya’bi, Thawus dan Ibnu Sirin dan diceritakan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas.[12]
Dalil yang dijadikan dasar oleh mereka banyak, diantaranya firman Allah SWT. :

وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إَلاَّ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَن تَعْفُواْ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلاَ تَنسَوُاْ الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
 إِنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ -٢٣٧
Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari yang telah kamu tentukan itu. (QS. Al-Baqarah: 237)
Dalam ayat ini Allah SWT mewajibkan bagi wanita tercerai sebelum disentuh maksudnya sebelum dicampuri, sepuluh mahar yang disebutkan dan tidak rinci antara istri yang bersunyian dengan suami atau tidak. Ayat tersebut hanya member pengertian bahwa kewajiban separuh mahar dalam kondisi suami istri bersunyian maupun tidak. Separuh mahar ini diwajibkan sebab akad semata. Barang siapa yang mewajibkan seluruh mahar yang disebutkan dalam kondisi bersunyian pasangan suami istri berarti menyalahi teks Alquran.
Diantara ayat Alquran yang dijadikan dalil adalah firman AllahSWT. :
لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاء مَا لَمْ تَمَسُّوهُنُّ أَوْ تَفْرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدْرُهُ مَتَاعاً بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُحْسِنِينَ -٢٣٦-
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaknya kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula). (QS. Al-Baqarah: 236)
Allah mewajibkan mut’ah (diberi kesenangan hadiah) bagi wanita yang tercerai yang belum dicampuri dan belum ditentukan maharnya. Allah tidak menjelaskan antara kondisi telah bersunyian atau tidak. Ini menunjukkan bahwa bersunyian sama dengan tidak bersunyiandalam kondisi ini tidak menguatkan mahar.
Mereka berkata: “Penguatan mahar berhenti pada terpenuhinya hak suami dari istri sebab tuntutan akad nikah”. Hak suami sebab akad nikah adalah pemanfaatan alat seks, pemanfaatannya adalah bersenggama atau bercampur. Ketika persenggamaan tidak ada, maka keberadaan mahar tidak kuat.
Kedua, bersunyian yang sah memperkuat mahar, yaitu pendapat Imam Asy-Syafi’I dalam qaul qadim-nya (fatwa ketika di Irak) dan ulama Hanafiyah.[13]Alasan mereka adalah firman Allah SWT. :
وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَاراً فَلاَ تَأْخُذُواْ مِنْهُ شَيْئاً أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَاناً وَإِثْماً مُّبِيناً -٢٠- وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً -
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?. Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu. (QS. An-Nisa’(4): 20-21)
Dalam dua ayat diatas Allah SWT melarang suami mengambil kembali mahar yang telah diberikan kepada istri pada saat talak dan menjelaskan kepada kita sebab larangan ini yaitu dikarenakan adanya bersunyian diantara mereka berdua.
Bersunyian yang disebutkan dalam ayat tersebut yaitu yang dipahami dari firman-Nya: “Waqad afdha ba’dhukum ila ba’dhin. Al-Farra’ diantara ulama bahasa Arab berkata: arti ifdha adalah bersunyian, baik bercampur atau tidak. Pengambilan menunjukkan bahwa maksud ifdha adalah bersunyian yang sah. Kata ifdha diambil dari kata fadha artinya tempat atau bumi yang tidak ada tumbuhan dan tidak ada dinding yang menghalangi pandangan. Maksud bersunyian disini, tidak ada penghalang dan pencegah dari bersenang-senang sesuai dengan tuntutan lafal.
Lahirnya nash tidak menggugurkan mahar sedikit pun dalam segala kondisi talak, tetapi menggugurkan separuh dari mahar dalam kondisi talak sebelum bercampur dan sebelum bersunyian dalam nikah. Penyebutan mahar didasarkan pada dalil lain, demikian juga kewajiban memberi mut’ah bagi wanita tercerai sebelum bercampur dalam nikah, tidak disebutkan karena ada dalil lain. Sedangkan kondisi talak sesudah bersunyian, menurut lahirnya nash menuntut kewajiban mahar seluruhnya kepada istri.
Mereka mengambil dalil dari hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW:
مَنْ كَشَفَ خَمَارَ امْرَأَتِهِ وَنَظرَ إِلَيْهَا وَجَبَ الصَّدَاقُ دَخَلَ بِهَا أم لَمْ يَدْخُلْ
Barang siapa yang menyingkap kerudung istrinya dan memandang kepadanya maka wajib mahar, baik telah bercampur atau belum tercampur.[14]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Zararah bin Abi Adfa, bahwa ia berkata: “Khulafaur Rasyidin memutuskan bahwa baransiapa yang menutup pintu dan memanjangkan penutupnya, maka wajib mahar dan wajib iddah”.
Kelompok pendapat kedua ini mempersyaratkan keabsahan bersunyi dan timbulnya beberapa pengaruh, yaitu sebagai berikut.
1.      Bersunyian itu setelah akad yang sah, jika bersunyian sesudah akad yang rusak maka bersunyiannya juga rusak.
2.      Tidak didapatkan penghalang atau pencegah, baik secara hakiki, tabi’I (tabiat), atau syar’I dari pergaulan intim sebagai suami istri, jikalau tidak, bersunyiannya rusak juga.
Penghalang hakiki, maksudnya didapatkan pada istrri sesuatu yang mencegah bercampur dengannya, karena usianya yang masih kecil atau karena sakit yang mencegah berhubungan seks atau adanya cacat fisik. Bersunyian dengan orang yang terbukti memiliki sifat dari beberapa sifat di atas tidak sah karena tidak mungkin bercampur secara hakiki.
Penghalanag tabi’i, yakni ada orang lain yang menyertai pasangan suami istri, baik dalam keadaan berjaga atau tidur, baik melihat atau buta, baik sudah dewasa atau masih kecil cerdas. Adanya mereka menurut tabiatnya menghalangi percampuran pasangan suami istri. Pada orang yang berjaga, melihat dan dewasa itu jelas. Orang tidur terkadang berpura-pura tidur atau bangun segera, orang buta mendengar dan dapat merasa, dan anak kecil yang sudah tahu hubungan seksual hukumnya seperti orang dewasa. Jika anak kecil tidak mengerti hubungan sekseual secara makna, maka wujudnya tidak menghalangi keabsahan bersunyian
Penghalang syar’i, kedua pasang suami istri atau salah satunya dalam kondisi berhalangan secara syara’ untuk melakukan hubungan seksual, seperti puasa Ramadhan, ihram haji di Baitullah dan istri sedang menstruasi atau nifas. Berhubungan dalam kondisi perbuatan muslim atas kebaikan, hal-hal di atas merusak bersunyian.


2.9       Hal-hal yang Mempengaruhi Mahar

Maksudnya, hal-hal yang menimbulkan wujudnya sesuatu pada mahar, di antaranya pengurangan, penambahan, dan penggugurannya.Pengaruh-pengaruh dirinci sebagai berikut.
  1. Pengurangan dan Penambahan Mahar
Jika disepakati mahar tertentu dan dengan mahar itu menjadi sempurna akadnya, suami boleh menambah mahar sekehendaknya selama ia seorang ahli derma dengan syarat istri menerima tambahan tersebut. Sesuai dengan firman Allah:
ولا جناح عليكم فيما ترضيتم به من بعد الفريضة
Dan tidaklah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menetapkan mahar itu. (QS. An-Nisa’ (4): 23)
Sebagaimana pula sang istri yang dewasa. Berakal, dan memiliki hak pilih, ia boleh mengurangi mahar yang telah ditentukan jika suami menyetujuinya.
  1. Pengaruh Separuh Mahar
Sebagaimana telah disebutkan bahwa keberadaan mahar tidak menguat kecuali telah terjadi percampuran atau kematian. Berdasarkan hal tersebut, jika seorang suami menyebutkan mahar tertentu kepada istri, baik telah diterima atau belum diterima, baik penyebutannya pada waktu akad atau setelahnya, kemudian ditalak sebelum bercampur, baik telah terjadi bersunyian maupun tidak maka istri hanya berhak menerima separuh mahar saja. Berdasarkan firman Allah:
وَإِنطَلَّقْتُمُوهُنَّمِنقَبْلِأَنتَمَسُّوهُنَّوَقَدْفَرَضْتُمْلَهُنَّفَرِيضَةًفَنِصْفُمَافَرَضْتُمْإَلاَّأَنيَعْفُونَأَوْيَعْفُوَالَّذِيبِيَدِ
هِعُقْدَةُالنِّكَاحِوَأَنتَعْفُواْأَقْرَبُلِلتَّقْوَىوَلاَتَنسَوُاْالْفَضْلَبَيْنَكُمْإِنَّاللّهَبِمَاتَعْمَلُونَبَصِيرٌ -٢٣٧-
Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada taqwa.Dan janganlah kau melupakan keutamaan di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah (2): 237)
Ayat tersebut menjelaskan secara jelas, kewajiban separuh mahar dari yang telah disebutkan, jika terjadi talak sebelum bercampur dan dalam ayat tidak dibedakan antara penyebutannya di tengah-tengah akad atau setelahnya.
Al-Khatib Asy-Syarbini berkata: “Pembayaran mahar yang sah sebagaimana disebutkan dalam akad dibayar separuh sebab talak yang terjadi setelah akad dijatuhkan sebelum terjadi persetubuhan, baik pembayaran dari kedua suami dan istri atau dari hakim.”[15]
Demikian juga wajib separuh mahar yang dianalogikan dengan hal tersebut di atas, perpisahan dari pihak suami, baik perpisahan itu karena talak atau fasakh (ada yang merusak). Adapun yang termasuk fasakh disini adalah perpisahan sebah murtadnya suami dari islam, adanya larangan suami terhadap istri yang telah masuk islam, cacian suami, dan penyusuan ibunya terhadap istri yang masih kecil.
  1. Pengguguran mahar secara sempurna
Mahar digugurkan secara keseluruhan ketika terjadi pemisahan antara suami istri sebelum berhubungan dan pemisahan ini berasal dari pihak istri. Misalnya, istri murtad dari islam atau masuk Islam dengan sendirinya sedangkan ia sudah dewasa dan berakal. Atau pemisahan bukan dari istri, tapi sebab istri.Misalnya, dijumpai cacat pada istri yang memberikan hak fasakh bagi suami, seperti vaginanya buntu tertutup daging atau tertutup tulang dan lain-lain.Semua contoh di atas menggugurkan mahar, baik disebutkan dalam akad atau dibayar setelah akad dalam mahar mitsil.
Demikian juga pengguguran mahar terjadi sebeab pembebasan mahar yang diperintahkan istri yang sudah dewasa dan berakal kepada suami setelah berhubungan, karena pembebasan adalah pengguguran, atau istri menghibahkan mahar kepada suami, demikian juga khulu’setelah bercampur.[16]
Ibnu Qudamah berkata: “Jika istri membebasakan mahar yang harus dibayar suami atau membabaskan sebagian, atau istri menghibahkan suami setelah diterima sebagai hadiah harta, hukumnya boleh dan sah. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan, karena firman Allah: kecuali istri-istri itu membebaskan.” (QS. Al-Baqarah (2): 237)[17]
Alat-alat Perlengkapan Rumah Tangga
Fuqoha’ berpendapat bahwa alat-alat perlengkapan rumah tangga menjadi kewajiban suami, karena segala beban kehidupan keluarga dipikulkan kepadanya bukan pada istri.Sebagaimana nafkah istri dibebankan pula kepada suami, diantara nafkah itu adalah mempersiapkan tempat tinggal yang dilengkapi dengan alat-alat perlengkapannya.
Adapun mahar yang diserahkan kepada istri merupakan hadiah atau pemberian suami kepada istri.Mahar menjadi milik istri, tidak ada keharusan mempersiapkan alat-alat perlengkapan rumah tangga dari padanya dan inilah yang dilakukan pada umumnya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa alat-alat perlengkapan rumah tangga menjadi kewajiban istri yang diambil dari sebagian mahar yang telah diterima, kecuali jika suami mempersyaratkannya yang lebih banyak dari mahar atau jika uruf yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, baik dahulu maupun sekarang bahwa alat-alat perlengkapan rumah tangga dibebankan pada mahar istri dan ditambah dari istri atau dari keluarganya.
Sekalipun hal tersebut diperselisihkan di antara fuqoha’, uruf memberlakukan mahar istri yang dibebani dengan kewajiban melengkapi alat-alat rumah tangga dan ditambah bantuan harta dari sebagian keluarganya.Jika alat-alat rumah tangga itu dipersiapkan istri berarti isi rumah tangga itu milik istri, suami tidak berhak menggunakannya kecuali dengan izinnya.Jika suami memberi harta kepada istri untuk keperluan alat-alat rumah tangga secara khusus dan terpisah dari mahar, maka istri wajib mempersiapkannya. Jika istri tidak menghadirkannya maka suami berhak menuntut harta yang telah diberikan, karena ia melalaikan kewajiban dan tidak mempersiapkan alat-alat perlengkapan rumah tangga tersebut.
Jika harta yang diberikan suami kepada istri untuk mempersiapkan alat-alat rumah tangga sekaligus di dalamnya juga terdapat mahar, dalam arti melebihi ketentuan mahar, yakni dengan adanya sejumlah alat-alat rumah tangga kemudian istri tidak melaksanakannya maka suami tidak wajib membayar mahar yang telah disebutkan, ia hanya wajib membayar mahar mitsil menurut sebagian fuqaha’. Ketidakwajiban membayar mahar mitsil  dikarenakan suami telah melebihkan untuk melengkapi alat-alat rumah, namun istri tidak melaksanakannya. Jika tidak wajib atas mahar yang disebutkan, ia wajib membayar mahar mitsil.
Ulama lain berpendapat bahwa yang wajib adalah mahar yang disebutkan secara optimal. Kewajiban istri menghadirkan alat-alat rumah tangga yang diambil dari mahar bukan wewenang suami, karena mahar sedikit atau banyak setelah disebutkan murni menjadi hak istri.
Persiapan Bapak untuk Putrinya
Pada umumnya bapak atau orang tua mempersiapkan perkakas rumah tangga untuk putrinya. Jika persiapan ini dari mahar, maka perkakas rumah tangga itu milik putri tersebut dan jika dari harta bantuan bapak terhadap putrinya, ia bukan milik bapak kecuali telah diserahkan kepadanya. Sebagaimana pula seluruh bantuan tidak dimilikinya sebelum diserahterimakan kepadanya.Demikian itu berlaku jika putri tersebut sempurna keahliannya. Jika tidak, ia memiliki perkakas tersebut pada wilayah kekuasaan bapak yang semata membelikannya. Kekuasaan bapak menempati pada kekuasaannya, karena bapak mempunyai wilayah kekuasaan padanya.Perkakas rumah tangga yang semata dibelikan bapak sudah diserahterimakan secara hukum.
Putri dewasa dan berakal memiliki alat-alat perlengkapan rumah tangga dengan diserah terimakan, sedangkan putri yang berada dalam keadaan tertinggal (sebaliknya) diberikan bapaknya.Bapak dan ahli waris setelah kematiannya tiak boleh menuntut kepadanya untuk mengembalikan perkakas yang telah dihadiahkan tersebut.Hadiah kepada kerabat mahram tidak boleh diminta kembali setelah diserahterimakan secara sempurna.
Yang harus diperhatikan jika bapak sakit kritis pada saat pemilikan perkakas rumah tangga kepada putrinya baik dengan diserahterimakan atau dibelikan maka bantuan bapak tersebut menempati wasiat, tidak boleh dilaksanakan kecuali tidak melebihi sepertiga harta peninggalan sesuai dengan pengamalan sekarang. Jika bapak meninggal dunia karena sakitnya itu dan nilai perkakas rumah tangga tidak melebihi sepertiga dari harta yang ditinggalkan maka ahli waris lain tidak berhak atas perkakas tersebut. Jika nilainya melebihi sepertiga peniggalan, kelebihannya itu bergantung pada izin mereka (ahli waris).

2.10    Kerusakan Mahar
Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual beliyang mengandung lima persoalan pokok, yaitu:
a.       Barangnya tidak boleh dimiliki;
b.      Mahar digabungkan dengan jual beli;
c.       Penggabungan mahar dengan pemberian;
d.      Cacat pada mahar; dan
e.       Persyaratan dalam mahar.
Dalam hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti: khamar, babi, dan buah yang belum masak atau unta yang lepas, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa akad nikahnya tetap sah apabila telah memenuhi mahar mitsli. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat tentang dua riwayat yang berkenaan dengan persoalan ini. Pertama, akad nikahnya rusak dan harus dibatalkan (fasakh), baik sebelum maupun sesudah dukhul. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Ubaid. Kedua, apabila telah dukhul, maka akad nikah menjadi tetap dan istri memperoleh mahar mitsli.
Mengenai penggabungan mahar dengan jual beli, ulama fikih berbeda pendapat seperti: jika pengantin perempuan memberikan hamba sahaya kepada pengantin laki-laki, kemudian pengantin laki-laki memberikan seribu dirham untuk membayar hamba dan sebagai mahar, tanpa menyebutkan mana yang sebagai harga dan mana yang sebagai mahar, maka Imam Malik dan Ibnul Qasim melarangnya, seperti juga Abu Saur.Akan tetapi Asyab dan Imam Abu Hanifah membolehkan, sedangkan Abu Ilah mengadakan pemisahan dengan mengatakan bahwa apabila dari jual beli tersebut masih terdapat kelebihan sebesar seperempat dinar ke atas, maka cara seperti itu dibolehkan.
Tentang penggabungan mahar dengan pemberian, ulama juga berselisih pendapat, misalnya dalam hal seseorang yang menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa pada mahar yang diberikannya terdapat pemberian untuk ayahnya (perempuan itu). Perselisihan itu terbagi dalam tiga pendapat.
Imam Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan bahwa syarat tersebut dapat dibenarkan dan maharnya pun sah. Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar itu rusak, dan istrinya memperoleh mahar mitsli. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa apabila syarat itu dikemukakan ketika akad nikah, maka pemberian itu menjadi milik pihak perempuan, sedangkan apabila syarat itu dikemukakan setelah akad nikah, maka pemberiannya menjadi milik ayah.
Mengenai cacat yang terdapat pada mahar, ulama fiqih juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa akad nikah tetap terjadi. Kemudian, mereka berselisih pendapat dalam hal apakah harus diganti dengan harganya, atau dengan barang yang sebanding, atau juga mahar mitsli.
Imam Syafi’i terkadang menetapkan harganya dan terkadang menetapkan mahar mitsli. Imam Malik dalam satu pendapat menetapkan bahwa harus meminta harganya, dan pendapat lain minta barang yang sebanding. Sedangkan Abu Hasan Al-Lakhimi berkata,”Jika dikatakan, diminta harga terendahnya atau mahar mitsli, tentu lebih cepat. Adapu Suhnun mengatakan bahwa nikahnya batal.
Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepasdari kewajiban untuk membayar mahar seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari Islam, atau mem-fasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan tersebutsetelah dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh walinya, Bagi istri seperti ini, hak pesangon gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu darinya.
Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri, yang belum digauli, melepaskan maharnya atau menghibahkan padanya. Dalam hal seperti ini, gugurnya mahar karena perempuan sendiriyang menggugurkannya. Sedangkan mahar sepenuhnya berada dalam kekuasaan perempuan.


2.11         Hikmah Disyariatkan Mahar

Hikmah disyariatkannya mahar dalam nikah adalah sebagai ganti dari dihalalkannya wanita atau dihalalkannya bersetubuh dengan suaminya.  Di samping itu pula mahar juga sebagai tanda hormat sang suami kepada pihak wanita dan sebagai tanda kedudukan wanita tersebut telah menjadi haksuami.[18]
            Mahar disyariatkan Allah SWT untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah SWT mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha.  Mahar diwajibkan padanya seperti halnya juga seluruh beban materi. Istri pada umumnya dinafkahi dalam mempersiapkan dirinya dan segala perlengkapannya yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya, tetapi manfaatnya kembali kepada suami juga.
Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang relevan suami dibebani mahar untuk diberikan kepada sang istri.  Mahar ini dalam segala bentuknya menjadi penyebab suami tidak terburu-buru menjatuhkan talak kepada istri karena yang ditimbulkandari mahar tersebut seperti penyerahan mahar yang diakhirkan, penyerahan mahar bagi wanita yang dinikahinya setelah itu dan juga sebagai jaminan wanita ketika ditalak.[19]











BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya).
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian.
Fuqaha’ sepakat bahwa harta yang berharga dan maklum patut dijadikan mahar. Oleh karena itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas dan lain-lain sah dijadikan mahar karena ia bernilai material dalam pandangan syara’. Sebagaimana pula mereka sepakat bahwa sesuatu yang tidak ada nilai material dalam pandangan syara’ tidak sah untuk dijadikan mahar seperti babi, bangkai dan khamr.
Mahar musamma yang disebutkan maksudnya mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik pada saat akad maupun setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa menyebutkan mahar, kemudian setelah itu kedua belah pihak mengadakan kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar.
Maksud mahar mitsil adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa menyebutkna mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung, saudara perempuan tunggal bapak, dan seterusnya.

Maksud kekuatan mahar adalah hal-hal yang memperkuat mahar sehingga tidak ada pengaruh pengguguran dan pengurangan.
Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual beliyang mengandung lima persoalan pokok.
Mahar disyariatkan Allah SWT untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah SWT mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia lebih mampu berusaha.  Mahar diwajibkan padanya seperti halnya juga seluruh beban materi. Istri pada umumnya dinafkahi dalam mempersiapkan dirinya dan segala perlengkapannya yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya, tetapi manfaatnya kembali kepada suami juga.

















DAFTAR PUSTAKA
.
Abubakar, Imam Taqiyuddin bin Muhammad Alhusaini. 1992. Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Shalih). Surabaya: Bina Iman
Al-Mashri, Syaikh Mahmud. 2011. Perkawinan Idaman. Jakarta: Qisthi Press
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2007. Terjemahan Lengkap Bulughu Marsm. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana
Al-Fauzan, Saleh. 2006. Fiqh Sehari-hari. Depok: GemaInsan
Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari. 1993. Terjemah Fat-Hul Mu’in. Surabaya: Al-Hidayah
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan , Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqh Munakahat. Jakarta: Amzah
Ghozali, Abdul Rahman, M.A. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kharisma Putra Utama
Syarifuddin, Amir. 2006.  Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.
Kamal, Abu Malik. 2007. Fiqh Sunnah Wanita. Jakarta: Pena PundiAksara



[1] Hasyiyah Asy-Syaerqawi ‘ada Syarh At- Tahrir, juz 2, hlm. 251 dan Mughni Al-Muhtaj, juz 3, hlm. 220.
[2] Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, danTalak. (Jakarta: AMZAH). 177.
[3]Abu Malik Kamal.Fiqh Sunnah Wanita. (Jakarta: Pena PundiAksara). 175
[4] Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas.Fiqh Munakahat. (Jakarta: AMZAH). 177
[5] Nail Al-Authar, juz 6, hlm 312
[6] Al-Muhadzdzab, juz 6, hlm. 56.
[7] Al-Muhadzdzab, juz 2, hlm. 265.
[8] Al-Muhadzdzab li Asy-Syayrazi, juz 2, hlm 72 dan Mughni Al-Muhtaj, juz 2, hlm 228.
[9] Lihat: Rawdhan Ath-Thalibin,  juz 7, hlm. 259.
[10] Al-Muhadzdzab, juz 2, hlm. 57.
[11] Al-Muhadzdzab, juz 5, hlm. 57 dan Hasyiyah Asy-Syarqawi, juz 2, hlm 166.
[12] Mughni Al-Muhtaj,  juz 3, hlm 225 dan Mughni li Ibnu Qudamah, juz 8, hlm 62.
[13] Lihat Mughni Al-Muhtaj,  juz 3, hlm 225 dan Al-Muhadzdzab, juz 2, hlm. 57 dan Bada’I Ash-Shana’I, juz 3, hlm 1457
[14] Hadis ini diriwayatkan melalui jalan Ibnu Luhai’ah, ia lemah. Ibnu Hazm menyebutnya melalui jalan Yahya bin Ayyub,    ia lemah juga. Lihat: Bada’I Ash-Shama’I, juz 7, hlm 146, Sunan Ad-Dar Quthni, juz 3, hlm 307 dan Al-Mahalli,  juz 9, hlm 486.
[15] Mughni Al-Muhtaj, juz 3, hlm. 335 dan Al-Muhazdzab, juz 2, hlm. 58.
[16]Mughni Al-Muhtaj, juz 3, hlm. 240 dan Bada’I Ash-Shana’I, juz 3, hlm. 1467.
[17]Al-Mughni, juz 8, hlm. 71.
[18]Saleh Al-Fauzan. Fiqh Sehari-hari. (Depok: GemaInsani). 674
[19] Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof. Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Munakahat. (Jakarta: AMZAH). 177-178

Hamim Maulana Malik Ibrahim

0 komentar

Post a Comment