PENDAHULUAN
Islam tidak senang kepada orang yang membujang. Membujang termasuk perbuatan yang menimbulkan dasar kebencian Islam terhadap setiap sesuatu yang tidak sesuai antara insting dan akal. Sesuatu yang tidak mempertimbangkan antara kenyataan dan kebutuhan dasar kehidupan manusia.
Allah telah menciptakan lelaki dan perempuan sehingga mereka dapat berhubungan satu sama lain, sehingga mencintai, menghasilkan keturunan, serta hidup dalam kedamaian yang sesuai dengan perintah Allah dan petunjuk Rasulallah SAW.
Islam mendorong manusia untuk membentuk keluarga. Islam mengajak manusia untuk membentuk kelurga, karena keluarga itu gambaran kecil dalam kehidupan stabil yang menjadi pemenuhan keinginan manusia, tanpa menghilangkan kebutuhannya.
Keluarga merupakan tempat fithroh yang sesuai dengan keinginan Allah bagi kehidupan manusia sejak keberadaan khalifah, Allah SWT. berfirman:
ôs)s9ur$uZù=yör&Wxßâ`ÏiBy7Î=ö6s%$uZù=yèy_uröNçlm;%[`ºurør&ZpÍhèur4
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. (QS. Ar-Ra’d (13): 38)
Kehidupan manusia secara individu berada dalam perputaran kehidupan dengan berbagai arah yang menyatu dengannya. Karena sesungguhnya fitrah kebutuhan manusia mengajak untuk keluarga sehingga mencapai kerindangan dalam tabiat kehidupan. Bahwasannya tiadalah kehidupan yang dihadapi dengan kesungguhan oleh pribadi yang kecil.
Bahkan telah membutuhkan unsur-unsur kekuatan, memperhatikannya pada tempat-tempat berkumpul, tolong-menolong dalam menanggung beban, menghadapi kesulitan, dari segenap kebutuhan aturan keluarga.
1 |
|NtôÜÏù«!$#ÓÉL©9$#tsÜsù}¨$¨Z9$#$pkön=tæ4w@Ïö7s?È,ù=yÜÏ9«!$#
(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah.
Dalam hal ini penulis mencoba menyajikan karya ilmiayah tentang pernikahan yang berjudul “Fiqih Munakahat: Pengertian, Hukum, Rukun, dan Syarat serta Hikmah Pernikahan dalam Kehidupan.” Untuk memenuhi tugas Fiqih Munakahat, dan semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Untuk mempermudah dalam pemahaman isi makalah ini, penulis akan memberikan rumusan masalah yang mengenai pembahasan. Rumusan masalah tersebut sebagai mana berikut ini:
1. Bagaimana pengertian pernikahan?
2. Bagaimana dasar hukum pernikahan dan hukum-hukum pernikahan dalam kehidupan?
3. Apa saja rukun-rukun pernikahan yang harus dipenuhi?
4. Apa saja syarat dari masing-masing rukun pernikahan?
5. Bagaimana hikmah pernikahan dalam realita kehidupan?
Tujuan penulis dalam pembahasan di sini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Bagaimana pengertian pernikahan.
2. Untuk mengetahui dasar hukum pernikahan dan hukum-hukum pernikahan dalam kehidupan.
3. Untuk mengetahui rukun-rukun pernikahan yang harus dipenuhi dalam akad pernikahan.
4. Untuk mengetahui syarat dari masing-masing rukun pernikahan.
5. Untuk mengetahui hikmah hikmah pernikahan dalam realita kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
Secara bahasa nikah diartikan sebagai berkumpul, wathi, dan akad. Sedangkan secara istilah diartikan sebagai:
عقد يتضمن ملك وطء بلفظ إنكاح أو تزويج أو معناهما
Akad yang mengandung maksud untuk memiliki kesenangan wat’I dengan menggunakan lafadz nikah atau kawin atau yang semakna dengan keduanya.
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqih berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah(إنكاح), dan zawaj(تزويج). Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits Nabi. Kata nakaha banyak terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 3:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja.
Demikian pula banyak terdapat kata zawaja dalam al-Qur’an dalam arti kawin, seperti dalam surat al-Ahzab ayat 37:
øÎ)ur$£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷y $pk÷]ÏiB #\sÛur $ygs3»oYô_¨ry ös5Ï9 w tbqä3t n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# Óltym þÎû Ælºurør& öNÎgͬ!$uÏã÷r&
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka.
3 |
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ xsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuöxî
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadits Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami kedua telah merasakan nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut.[1]
Sedangkan secara istilah pernikahan menurut Abu Hanifah adalah “aqad yang dikukuhkan[2]untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja”. Secara syara’ akad yang sudah mashur dan terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi.
Madzhab Maliki, Pernikahan adalah “akad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita” arti esensialnya disini adalah dengan aqad tersebut maka terhindarlah seseorang dari bahaya fitnah perbuatan Haram (Zina).[3]
Sedangkan menurut penganut madzhab Imam Syafi’i berpendapat bahwa, yang dimaksud dari pernikahan itu sendiri yaitu “akad yang didalamnya menjamin diperbolehkannya persetubuhan antara kedua belah pihak .“
Menurut madzhab Imam Hambali adalah “akad yang didalamnya terdapat lafadh pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur.
Setelah kita perhatikan dan kita telaah secara mendalam dari berbagai definisi pernikahan dari masing-masing lintas madzhab diatas jelas, bahwa yang menjadi inti pokok dari perrnikahan itu adalah aqad (perjanjian). Yaitu penyerahan dan penerimaan antara orang tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria. Penyerahan dan penerimaan tanggung jawab secara arti luas, telah terjadi pada saat Aqad nikah tersebut, disamping penghalalan bercampur keduanya sebagai suami-istri dan tentunya adanya pencataan yang legal pada negara.
Sedangkan pengertian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab II pasal 2 mengenai dasar–dasar perkawinan disebutkan: perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah. Dan pada pasal 4 disebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang– Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.[4]Dan pada pasal 5 ayat 1 disebutkan: “ agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat. Selanjutnya pada pasal 6 disebutkan pada ayat (1) “ untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah”. (2) “perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum “.
Bila kita teliti secara seksama pada berbagai definisi diatas tentang berbagai penafsiran dalam pernikahan (perkawinan), maka menurut hemat penulis berpendapat bahwa ada perbedaan pengertian mengenai pernikahan dan perkawinan meskipun tidak ada perbedaan yang prinsipil. Secara garis besar, ada sebuah humor yang bisa di jadikan acuan yakni “ nikah itu berbedada dengan kawin, nikah itu pake urat, kalo kawin pake surat” humor ini sejalur dengan definisi perkawinan yang berdasarkan Kompilasi Hukum Islam yang tertera diatas.
Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian diatas, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa nikah itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian disini bukan sembarang perjanjian belaka sepertihalnya jual beli atau sewa menyewa. Tetapi merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Suci disini dilihat dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan[5].
Hukum-Hukum pernikahan Nikah disyariatkan oleh agama sejalan dengan hikmah manusia diciptakan oleh Allah yaitu kemakmuran dunia dengan jalan terpeliharanya keturunan manusia. Para ualama sependapat bahwa nikah itu disyariatkan oleh agama, perselisihan mereka diantaranya dalam hal hukum menikah.[6]
Dalam masalah hukum menikah terdapat perselisihan pendapat dalam hukum Islam yang terbagi dalam tiga kelompok, yakni:
Hukum menikah adalah wajib, karena perintah menikahkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 3:
÷bÎ)ur÷LäêøÿÅzwr&(#qäÜÅ¡ø)è?Îû4uK»tGuø9$#(#qßsÅ3R$$sù$tBz>$sÛNä3s9z`ÏiBÏä!$|¡ÏiY9$#4Óo_÷WtBy]»n=èOuryì»t/âur(÷bÎ*sùóOçFøÿÅzwr&(#qä9Ï÷ès?¸oyÏnºuqsù÷rr&$tBôMs3n=tBöNä3ãY»yJ÷r&4y7Ï9ºs#oT÷r&wr&(#qä9qãès?ÇÌÈ
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dan perintah menikahkan dalam kedua hadits riwayat Bukhari-Muslim sebagaimana telah disebut, kesemuanya menunjukkan kepada perintah wajib. Hal ini berdasarkan kaidah bahwa setiap sighot “amar” itu menunjukkan wajib secara muthlaq. Pendapat ini dipelopori oleh Daud Az-Zhahiry, yaitu satu kali nikah untuk seumur hidup walaupun yang bersangkutan impoten; Ibnu Hazm, hukum wajib hanya ditujukan kepada mereka yang tidak impoten; dan juga dipelopori oleh Imam Ahmad.
Hukum menikah adalah sunnah, dengan berpegangan pada surat an-Nisa’ ayat 3 yang menunjukkan jalan halal untuk mendekati wanita itu ada dua cara: dengan jalan menikah atau dengan jalan tasarri yakni memiliki jariyah (budak perempuan). Ketentuan surat an-Nisa’ menuruh untuk memilih antara tasarri dan menikah, oleh karena tasarri tidak wajib, maka ini menunjukkan bahwa menikah hukumnya tidak wajib. Menurut ushul fiqh, tidak ada pilihan antara wajib dan tidak wajib, karena yang dikatakan wajib itu suatu yang tidak dapat ditinggalkan, dengan demikian hukumnya adalah sunnah. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam suatu riwayat.
Hukum menikah adalah mubah, dengan alasan firman Allah dalam an-Nisa’ ayat 3 adalah Allah menyerahkan kepada kita untuk memperoleh wanita dengan jalan menikah atau dengan tasarri yang menunjukkan kedua jalan itu sama derajatnya. Menurut Ijma’, tasarri hukumnya mubah, karena itu menikah hukumnya juga mubah (tidak sunnah) karena tidak ada pilihan antara sunnah dan mubah. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Syafi’i.
2.2.2 Hukum-Hukum Pernikahan dalam Kehidupan
Imam Syafi’i mengatakan bahwa nikah itu hukumnya jaiz atau mubah, atau bisa dikatakan bahwa seseorang itu boleh nikah juga boleh tidak nikah. Hukum jaiz tersebut dapat berkembang ke tingkat yang lebih tinggi yaitu wajib juga dapat pula menjadi haram. Dalam sistem hukum Syafi’iyah tidak menekankan hanya kepada kaidah hukum asalnya saja tetapi juga pada segi agama, sosial, moralnya, sesuai dengan jiwa syari’at Islam. Lebih lanjut kita tinjau hukum menikah dari kondisi perseorangan dengan berlandaskan pada kaidah ushul fiqh yang berbunyi: “Hukum itu beredar atau berganti-ganti menurut illatnya.”
Kaidah ini setelah diterapkan dalam hukum perkawinan, menghasilkan perubahan hukum yang didasarkan dari perbedaan illat.[7]pada tataran selanjutnya, hukum pernikahan sangat bergantung pula kepada keadaan orang yang bersangkutan, baik dari segi psikologis, materi maupun kesanggupannya memikul tanggung jawab. Bisa jadi, bagi seseorang pernikahan itu wajib. Dan, bisa jadi pula bagi orang lain hukumnya adalah mubah. Untuk lebih jelasnya, marilah kita bahas satu per satu hukum pernikahan.[8]
1. Wajib
Menikah hukumnya wajib bagi orang yang khawatir berbuat zina jika tidak melakukannya. Sebagaimana kita ketahui menikah adalah satu cara untuk menjaga kesucian diri. Maka jika tidak ada jalan lain untuk meraih kesucian itu, kecuali dengan menikah, maka menikah hukumnya adalah wajib bagi yang bersangkutan. Imam al-Qurthubi mengatakan,”orang yang mampu menikah, kemudian khawatir terhadap diri dan agamanya, dan itu tidak dapat dihilangkan kecuali dengan menikah, maka dia harus menikah”.
Misalnya, seorang pemuda memiliki banyak harta dan berlimpahan materi, dan dia tidak mampu mnahan syahwatnya sehingga akan dengan mudah terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan. Pada saat bersamaan dia juga memiliki kewajiban menunaikan ibadah haji karena syarat-syaratnya sudah terpenuhi. Maka, dalam keadaan seperti itu dia harus menikah terlebih dahulu. Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan, “jika seorang harus menikah karena takut terjerumus ke lembah perzinaan maka dia harus mendahulukannya daripada kewajiban berhaji.”
Bahkan, jika keadaan sudah darurat, dalam arti bahwa seseorang benar-benar terjerumus ke dalam perzinaan, maka menikah hukumnya wajib baginya, baik sudah siap secara materi maupun belum sama sekali.[9]
Sementara itu Allah SWT. telah menjanjikan hamba-Nya yang fakir akan kaya dengan menikah, sebagaimana firman-Nya:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ ÇÌËÈ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian* diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS Al-Nur [24]: 32)
الآيمى (Al-Ayaama) merupakan jamak dari lafadh أَيَّمٍ (ayyam) yaitu seseorang yang tidak mempunyai suami atau istri, baik dari laki-laki maupun perempuan.[10]
Dalam buku lain dijelaskan, seandainya hasratnya untuk menikah sangat kuat, namun dia tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istrinya kelak, lalu dia terpaksa tidak melakukan pernikahan, hendaklah dia bersabar dan bersungguh-sungguh dalam upaya menjaga dirinya daripada terjerumus dalam perzinaan, seraya mengikuti petunjuk firman Allah SWT.:[11]
É#Ïÿ÷ètGó¡uø9urtûïÏ%©!$#wtbrßÅgs%·n%s3ÏR4Ó®LymãNåkuÏZøóãª!$#`ÏB¾Ï&Î#ôÒsù3
“Dan mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah menjaga kesucian dirinya, sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS Al-Nur [24]: 33)
2. Sunnah
Pernikahan tidak menjadi wajib, namun sangat dianjurkan bagi siapa saja yang memiliki hasrat atau dorongan seksual untuk menikah dan memiliki kemampuan untuk melakukannya, walaupun merasa yakin akan kemampuannya mengendalikan dirinya sendiri, sehingga tidak khawatir akan terjerumus dalam perbuatan yang diharamkan Allah. Orang seperti ini, tetap dianjurkan untuk menikah, sebab bagaimanapun nikah adalah tetap lebih afdhal daripada mengkontrasikan diri secara total (ber-thakhalli) untuk beribadah.[12]Sabda Nabi Muhammad SAW.:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قال: قال لنا رسول الله صلى الله عليه و سلم: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ, فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.[13]
Dari Abdillah ibn Mas’ud berkata: Nabi Muhammad Saw. telah bersabda, kepada kami “Wahai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu mampu al baa’ah maka hendaklah menikah, dan barang siapa tidak mampu maka hendaklah berpuasa, sesungguhmya puasa itu menjadi perisai baginya.”
الباءة (Al-Baa’ah). Terkadang dibaca ‘al bah’ dan juga ‘al baa’a’ serta ‘al baahah’. Dikatakan bila dibaca panjang maknanya kemampuan menanggung biaya nikah, dan bila dibaca tanpa tanda panjang maknanya kemampuan melakukan hubungan intim. Al-Khathathabi berkata, “Maksud ‘al baa’ah’ adalah nikah. Asalnya adalah tempat yang disiapkan untuk berlindung.” Sementara Al-Maziri berkata, “Akad terhadap wanita diambil dari asal kata ‘al baa’ah’, karena menjadi kebiasaan seseorang yang menikahi perempuan, menyiapkan tempat tinggal.”[14]
Hadits tersebut menunjukkan kesunahan dalam pernikahan yaitu kekhawatiran rusaknya mata dan farji. Lafadh wija’ itu menjadi ibarat dari hancurnya dua testis “رضّ الخصيتين” manusia, sehingga hilanglah sifat kelelakian laki-laki. Adapun lafadh رضّ الخصيتين dipinjam karena ketidak bolehan jima’ pada saat puasa.[15]
Pernikahan itu disunahkan jika seseorang sudah mampu secara materi dan sehat jasmani, namun tidak ada kekhawatiran akan terjerumus ke dalam perzinaan. Ia masih memiliki filter untuk melindungi dirinya dari terjerembah ke dalam lembah kemaksiatan.
Jika dia mempunyai keinginan untuk menikah dengan niat memelihara diri atau mendapat keturunan, maka hukum menikah baginya adalah sunnah. Tetapi kalau dia tidak berkeinginan untuk menikah sedang dia ahli ibadah, maka lebih utama untuk tidak menikah. Jika dia bukan ahli ibadah, maka lebih utama baginya untuk menikah. Menurut Imam Ahmad dari suatu riwayat, sunah menikah bagi yang tidak berkeinginan untuk kawin walaupun tidak khawatir jatuh ke dalam perzinaan yang oleh karenanya menikah lebih utama dari ibadah-ibadah sunnah.[16]
3. Makruh
Jika seseorang laki-laki yang tidak mempunyai syahwat untuk menikahi seseorang perempuan, atau sebaliknya, sehingga tujuan pernikahan yang sebenarnya tidak akan tercapai, maka yang demikian itu hukumnya makruh. Misalnya seorang yang impoten. Sebagaimana kita ketahui, salah satu tujuan dari pernikahan adalah menjaga diri, sehingga ketika tujuan ini tidak tercapai, maka ada faedahnya segera menikah.[17]Juga pada laki-laki yang sebetulnya tidak membutuhkan perkawinan, baik disebabkan tidak mampu memenuhi hak calon istri yang bersifat nafkah lahiriyah maupun yang tidah memiliki hasrat seksual, sementara si perempuan tidak terganggu dengan ketidakmampuan sang calon suami. Misalnya, karena perempuan itu kebetulan seorang yang kaya raya dan juga tidak memiliki hasrat kuat untuk melakukan hubungan seksual. Kurang disukainya perkawinan ini terutama apabila dapat mengakibatkan si laki-laki seperti itu meninggalkan kegiatannya dalam beribadah ataupun dalam menuntut ilmu yang biasanya dilakukan sebelum itu.[18]
Begitu pula makruh bagi orang yang kalau dia menikah, dia khawatir istrinya akan teraniaya, akan tetapi kalau dia tidak menikah dia khawatir akan jatuh kepada perzinaan, karena manakala bertentangan antara hak Allah dan hak manusia, maka hak manusia diutamakan dan orang ini wajib mengekang nafsunya supaya tidak berzina.[19]
4. Haram
Pernikahan menjadi haram bila bertujuan untuk menyakiti salah satu pihak, bukan demi menjalankan sunnah rasulallah Saw. Misalnya, ada seorang laki-laki yang mau menikahi seorang perempuan demi balas dendam atau sejenisnya. Ini hukumnya haram.
Masuk dalam kategori ini ketidakmampuan memberi nafkah atau menunaikan kewajiban yang lainnya.
Imam al-Qhurtubi mengatakan,”Jika seorang suami mengetahui bahwa dia tidak mampu untuk menafkahi istrinya, membayar mahar, atau menunaikan salah satu haknya, maka dia tidak boleh menikahinya sampai ia menjelaskan keadaan tersebut kepada istrinya. Begitu juga jika dia memiliki penyakit yang menyebabkan tidak bisa bersena-senang dengan istrinya, agar dia tidak merasa ditipu.”[20]Diantara penyakit-penyakit yang diderita laki-laki yang menyebabkan terhalangnya pernikahan ataupun termasuk dalam عيوب النّكاح (aib-aib pernikahan) yang memberikan pilihan terhadap istri untuk melanjutkan atau menyudahi pernikahan antara lain: gila (الجنون), lipra atau kusta (الجذام) penyakit pada anggota badan berwarna merah kemudian menjadi hitam dan akhirnya rontok atau terputus dari anggota badan yang lain, belang (البرص), penyakit keputihan pada kulit yang menghilangkan darah pada kulit tersebut, putusnya dzakar (الجبّ), baik seluruhnya atau hanya sebagiannya saja sekiranya yang tersisa kurang dari panjangnya khasyafah, dan impoten (العنّة).[21]
Ini tidak berlaku bagi laki-laki saja, perempuan pun harus menjelaskan dengan terus terang terhadap suaminya jika mempunyai masalah yang akan menghilangkan kebahagiaan rumah tangga.
Imam Qhurthubi melanjutkan, ”jika sesorang perempuan mengetahui bahwa dia tidak mampu menunaikan hak suami, atau memiliki penyakit yang akan menghalanginya berhubungan badan, maka dia tidak boleh menipunya, dan harus menjelaskannya.[22]Diantara penyakit-penyakit yang diderita perempuan sebagaimana penyakit pria yang menyebabkan terhalangnya pernikahan ataupun termasuk dalam عيوب النّكاح (aib-aib pernikahan) antara lain: gila (الجنون), lipra atau kusta (الجذام), belang (البرص), buntu daging (الرّتق), tertutupnya vagina perempuan dengan daging, dan yang terakhir buntu tulang (القرن), tertutupnya vagina perempuan dengan tulang.[23]
5. Mubah
Pernikahan menjadi mubah (yakni bersifat netral, boleh dikerjakan dan boleh juga ditinggalkan) apabila tidak ada dorongan atau hambatan untuk melakukannya ataupun meninggalkannya, sesuai dengan pandangan syari’at, seperti telah dijelaskan diatas.[24]Adapun hukum pernikahan di Indonesia sama dengan hukum yang telah disebutkan di atas.
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut darisegi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkainan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.[25]
Nikah tidak sah jika tidak terpenuhinya beberapa perkara (syarat-ayarat dan rukun nikah), yaitu:
1. Shighot (ijab qobul)
2. Calon istri
3. Calon suami
4. Wali
5. Dua orang saksi
Mahar yang harus ada di setiap perkawinan tidak termasuk ke dalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar itu termasuk dalam syarat perkawinan.
UU perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. UU perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan. KHI secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 14, yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqh Syafi’i dengan tidak memasukkan mahar dan rukun.
Adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qobul. Ulama sepakat menempatkan ijab qobul sebagai rukun perkawinan.[26] Akad ijab qabul merupakan rukun yang paling menentukan dalam menjadikan sesuatu yang haram menjadi halal dan tidak sah suatu pernikahan tanpa ijab qabul. Adapun akad ijab diucapkan si wali nikah, sedangkan akad qabul di ucapakan calon suami. Sebagaimana rukun-rukun yang lain akad ijab qabul mempunyai syarat-syarat yaitu sebagai berikut.
1. Akad ijab qabul tersebut harus dengan kalimat “tazwijun nikah” atau dengan terjemahannya yaitu kalimat kawin dan nikah saja, maka tidak sah dengan kalimat lainnya, walaupun memberi artian seperti kalimat tersebut.[27]Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafadh nikah, tazwij, atau terjemahan dari keduanya. Sabda Nabi SAW.:
إِتَّقُوْا اللهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَاتِ اللهِ. رواه المسلم
“Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan. Sesungguhnya kami abbil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah.” (Riwayat Muslim)
Yang dimaksud dengan “kalimat Allah” dalam hadits ialah al-Qur’an, dan dalam al-Qur’an tidak disebutkan selain dua kalimat itu (nikah dan tazwij), maka harus dituruti agar tidak salah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa akad sah dengan lafadh yang lain, asal maknanya sama dengan kedua lafadh tersebut ma’qul makna, tidak semata-mata ta’abbudi.[28]
2. Antara ijab dan qabul tidak diselingi oleh kata-kata yang tidak ada hubungannya dengan tuntunan nikah, maslahat, dan sunnah-sunnah dalam akad nikah, karena seakan-akan dengan kalimat tersebut dia berpaling dari akad itu.
3. Antar ijab dan qabul tidak diselingi diam yang lama yaitu waktu yang sekiranya menjawab setelah waktu itu sudah tidak dianggap lagi jawaban bagi akad ijab.
4. Antara ijab dan qabul harus sesuai dengan arti dan maksudnya, lain halnya jika tidak sesuai, mislanya si wali berkata “ aku nikahkan kamu dengan Fatimah putriku” lau si suami menjawab “aku bersedia menikahi zainab” maka yidak sah, karena tidak sama maksud akad ijab dan qabulnya.
5. Akad ijab qabul tersebut tidak digantungkan dengan sesuatu apapun, misalanya jika si wali di beritahu dengan kelahiran istrinya lalu dia berkata, “aku nikahkan putriku Fatimah denganmu” jika anak yang dilahirkan laki-laki, maka tidak sah.
6. Akad ijab qabulnya tidak menyebutkan batasan waktu baik tertentu atau tidak, yaitu yang disebut kawin mut’ah, maka tidak sah akad ijab qabul jika disebutkan batasan waktunya.
7. Akad ijab qabul tersebut harus dilafazkan sekiranya didengar oleh orang yang berada didekatnya, maka tidak sah jika hanya berbisik-bisik.
8. Dalam akad ijab qabul tersebut tidak boleh menyebutkan syarat yang merusak tujuan menikah.
9. Si wali dengan suami harus tetap keadaannya yaitu dalam keadaan memnuhi syarat melangsungkan akad nikah hingga selesai, lafaz ijab qabulnya dan jika salah satunya gila atau pingsan sebelum rampungya akad maka batalah akad itu.[29]
Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan, karena ini yang disebut dalam al-Qur’an. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan yang akan kawin adalah sebagai berikut:[30]
a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya.
b. Keduanya sama-sama beragama Islam.
c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
d. Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang akan mengawininya.
e. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Syarat-syarat Wanita Menjadi Seorang Istri adalah sebagai berikut:
a. Seorang wanita tulen, bukan banci.
b. Wanita itu tidak sedang melakukan ihram, baik dengan ihram haji atau umrah.
c. Wanita itu bukan istri seseorang, maka tidak sah wanita yang sudah bersuami menikah lagi sebelum diceraikan oleh suami yang pertama.
d. Wanita itu bukan mahram bagi calon pengantin pria, maka tidak sah perkawinan seorang pria dengan wanita mahramnya, baik mahram dari nasab.
e. Wanita itu tidak sedang menjalankan iddah
f. Wanita itu diketahui oleh calon suaminya, maka tidak sah seseorang kawin dengan wanita yang tidak diketahui sebelumnya.
g. Wanita itu bukan istri yang kelima bagi calon suami itu.[31]
Adapun Syarat-syarat Menjadi Seorang Suami adalah sebagai berikut:
a. Dia menikahi calon istrinya dengan sukarela bukan karena dipaksa, kecuali karena paksaan agama.
b. Calon suami tersebut adalah laki-laki yang tulen, bukan banci.
c. Calon suami tresebut diketahui dengan jelas identitasnya oleh wali nikah calon istri dan kedua saksi.
d. Calon suami harus mengetahui calon istrinya baik dengan mengetahui namanya atau melihatnya dengan cara ditunjuk.
e. Calon suami tidak sedang ihram baik dengan haji atau umroh. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW :
f. “seorang yang sedang menjalankan ihram tidak boleh dikawinkan atau mengawinkan”
g. Calon istri bukan makhram atas suami baik makhrm karena nasab atau rodlo’ (kesusuan)
h. Calon suami harus mengetahui bahwa calon isterinya adalah halal baginya.
i. Calon suami adalah seorang muslim jika calon isteri adaah seorang muslimah, karena tidak sah nikahnya nikahnya seorang muslimah dengan non muslim. Firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 221:
wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
j. Jangan kamu nikahkan orang musyrik sampai mereka beriman.[32]
Wali secara umun adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dalam akad perkawinan wali itu adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.
Keberadaan seorang wali secara umum adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.[33]
Keterangan adalah sabda Nabi Muuhammad SAW. dari Aisyah yang dikeluarkan olem empat orang perowi hadits selain Nasa’i:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا, فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ, فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا, فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ ) أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ, وَصَحَّحَهُ أَبُو عَوَانَةَ , وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ.[34]
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka bertengkar maka penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali." Dikeluarkan oleh Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Uwanah, Ibnu Hibban, dan Hakim.
Juga hadits dari Abu Hurairah yang mengutip ucapan Nabi:
وعنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ اَلْمَرْأَةَ, وَلَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ نَفْسَهَا ) رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ , وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ , وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ[35] .
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lainnya, dan tidak boleh pula menikahkan dirinya." Riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.
Terdapat banyak perbedaan pendapat dalam hal perwalian ini, diantaranya:
a. Ulama Hanafiyah dan ulama Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa untuk perkawinan anak kecil baik sehat akal atau tidak sehat akal diwajibkan adanya wali yang akan mengakadkan perkawinannya. Sedangkan perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melangsungkan sendiri akad perkawinannya tanpa adanya wali.
b. Ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa setiap akad perkawinan dilakukann oleh wali, baik perempuan itu dewasa atau masih kecil, janda atau masih perawan, sehat akalnya atau tidak sehat. Tidak ada hak sama sekali bagi perempuan untuk mengakadkan perkawinannya.
c. Pendapat Imam Malik menurut riwayat Asyhab wali muthlaq dalam suatu perkawinan dan tidak sah perkawinan tanpa adanya wali. Namun menurut riwayat Ibnu Qosim, keberadaan wali hanyalah sunnah hukumnya dn tidak wajib.
d. Ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa untuk perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akal diwajibkan adanya wali, sedangkan untuk perempuan yang sudah dewasa yang diwajibkan adalah izin wali untuk melangsungkan perkawinan.[36]
a. Islam, maka tidak diperbolehkan wali perempuan itu orang kafir.[37]Hal ini berdalil dari firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 28:
w ÉÏGt tbqãZÏB÷sßJø9$# tûïÍÏÿ»s3ø9$# uä!$uÏ9÷rr& `ÏB Èbrß tûüÏZÏB÷sßJø9$# ( `tBur ö@yèøÿt Ï9ºs }§øn=sù ÆÏB «!$# Îû >äóÓx«
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.[38]
b. Baligh, dalam arti tidak diperbolehkan wali perempuan dari golongan anak kecil.
c. Berakal, juga tidak diperbolehkan wali yang gila, sama halnya gilanya itu terus-menerus atau putus-putus.
d. Merdeka, maka juga tidak diperbolehkan wali perempuan itu budak dalam ijab pernikahan, tetapi seorang budak tersebut boleh qobul dalam pernikahan.
e. Laki-laki. Tidak boleh seorang perempuan dan khuntsa itu menjadi wali.
f. Adil.[39] Maka orang fasiq tidak boleh menjadi wali. Dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dengan dosa kecil serta memelihara muruah atau sopan santun.
g. Tidak sedang melaksanakan ibadah ihram, untuk haji atau umroh. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang dari ‘Utsman menurut riwayat Muslim mengatakan:
لا ينكح المحرم ولا ينكح
“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan tidak boleh juga dinikahkan seseorang”[40]
Orang-orang yang berhak menjadi wali adalah:
1. Wali Nasab, yaitu wali yang berhubungan tali kekeluargaan dalam perempuan yang akan kawin. Dalam KHI pasal 21 dijelaskan bahwa, “Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.”
Pertama: Kelompok kerabat laki–laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki – laki mereka.
Ketiga: Kelompo kerabat paman, yakni saudara laki–laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki – laki mereka.
Empat: Kelompok saudara laki – laki kandung kakek, saudara laki – laki seayah kakek dan keturunan laki- laki mereka.
Apabila dalam suatu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama- sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
Apabila dalam suatukelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah adalah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
Apabila dalam suatu koelompok, derajat kekerabatannya sama, yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah. Mereka sama – sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannnya tidak memenuhisyarat sebagai wali nikah atau oleh wali nikah itu menderita cacat tuna wicara, tungs rungu atau sudah udzur. Maka hak walinikh bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.[41]
Adapun urutan wali nasab adalah sebagai berikut:
1. Ayah kandung;
2. Kakek, bapaknya ayah atau bapaknya kakek;
3. Saudara laik-laki kandung;
4. Saudara Saudara laki-laki seayah, tidak berhak saudara laki-laki seibu;
5. Anak saudara laik-laki kandung (keponakan);
7. Paman atau saudara ayah kandung;
8. Paman atau saudara ayah seayah, tidak berhak paman saudara laki-laki seibu;
9. Anak paman saudara laki-laki syah kandung;
10. Anak paman saudara laki-laki ayah seayah;
11. Paman ayah;
12. Anak paman ayah;
13. Paman kakek, kemudian anaknya;
14. Paman ayah kakek, kemudian anaknya dan begitu seterusnya.[42]
2. Wali Hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau pengusaha.
Dalam penetapannya terdapat beda pendapat di kalangan ulama. Beda pendapat ini di sebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-Qur’an tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yang berhak menjadi wali. Dalam KHI pasal 23 dijelaskan bahwa Wali hakim beru bisa bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adalah atau enggan.
dalam wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindaksebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut. [43]
Jumhur ulama yang terdiri dari Syafi’iyah, Hanabillah, Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah membagi wali itu kepada dua kelompok:
Pertama: Wali dekat atau wali qorib (الوليّ الأقرب); yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. Ia dapat mengawinkan anaknya yang masih berusia muda tanpa minta persetujuan dari anaknya tersebut wali dalam kedududkan seperti ini disebut wali mujbir. Ketidak harusan minta pendapat dari anaknya yang masih usia muda itu adalah karena orang yang masih muda tidak mempunyai kecakapan untuk memberi persetujuan. Ulama hanabillah menempatkan orang yang di beri wasiat oleh ayah untuk mengawinkan anaknya berkedududkan sebagai ayah.
Kedua: Wali jauh atau wali ab’ad (الوليّ الأبعد); yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu, karena anak menurut ulama jumhur tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya dari segi dia adalah anak, bila anak berkedudukan sebagai wali hakim boleh dia mengawinkan ibunya sebagai wali hakim.
Ulama Hanafiah menempatkan seluruh kerabat nasab, baik sebagai ashabah dalam kewarisan atau tidak. Sebagai wali nasab, termasuk zaul arham. Menurut mereka yang mempunyai hak ijbar bukan hanya ayah dan kakek tetapi semuanya mempunyai hak ijbar, selama yang akan di kawinkan itu adalah perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akalnya. (ibnu al-humam: 285) berbeda dengan pendapat umhur ulama, anak dapat menjadi wali terhadap ibunya yang akan kawin.
Ulama Malikiyah menempatkan seluruh kerabat nasab yang ashabah sebagai wali nasab dan membolehkan anak mengawinkan ibunya, bahkan kedudukannya lebih utama dari ayah atau kakek. Golongn ini menambah orang yang diberi wasiat oleh ayah sebagai wali dalamkedudukan sebagaimana kedudukan ayah. (ibnu rasyid;19) berbeda dengan ulama hanafiyah golongan ini memberikan hak ijbar hanya kepada ayah saja dan menempatkannya dalam kategori wal akrab.[44]
Sebagaimana dengan wali maka perkawinan dalam pelaksanaannya harus dihadiri oleh saksi-saksi. Adapun Dasar hukum perwalian adalah sabada rosulallah SAW,:
وَرَوَى اْلإِمَامُ أَحْمَدُ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ عِمْرَانَ ابْنِ الْحُصَيْنِ مَرْفُوْعًا ( لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ(
Imam Ahmad meriwayatkan hadits marfu' dari Hasan, dari Imran Ibnu al-Hushoin: "Tidak sah nikah kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi."
Para ahli fiqih sepakat bahwa pelaksanaan akad nikah hanya dihadiri oleh saksi-saksi. Karena kehadiran saksi-saksi merupakan rukun atau hakikat dari perkawinan itu sendiri.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan itu harus ada saksi, beliau mendasarkan diri pada hadits Nabi.
Imam Abu hanifah berpendapat bahwa saksi dalam akad nikah adalah merupakan rukun dari akad nikah. Beliau mengqiaskan persaksian dalam akad nikah pada persaksian dalam akad muamalah. Kesaksian merupakan rukun dari akad muamalah. Menurut beliau akad nikah lebih utama dari akad muamalah. Oleh karena itu adanya saksi-saksi dalam akad muamalah. Beliau melakukan qiyas dalam hal ini, karena menurut beliau tidak ada nash yang dapat disajikan dasar hukum bagi persaksian itu.[45]
Syarat-syarat menjadi saksi akad nikah
1. Sudah mencapai batas baligh (genap 15 tahun, bermimpi hingga mengeluarkan air sperma)
2. Keduanya adalah orang yang berakal, maka tidak sah kesaksian seorang yang gila sampai dia waras.
3. Keduanya dari kaum pria, dan tidak sah kesaksian seorang wanita atau banci dalam pernikahan.
4. Keduanya beragama islam
5. Keduanya termasuk orang yang adil dan tidak fasik.
6. Keduanya bukan orang yang idiot.
7. Keduanya bukan orang yang tuli
8. Keduanya bukan orang yang buta
9. Keduanya tidak bisu.
10. Keduanya harus memahami bahasa yang digunakan oleh wali dan suami maka tidak cukup hanya menghafal kalimat yang diucapkan si wali dan suami tanpa memahami artinya.
11. Keduanya tidak memiliki ingatan yang lemah
12. Salah satu dari dua saksi tersebut bukan wali satu-satunya dari calon isteri.
Dan jika terjadi suatu pernikahan daengan kesaksian salah satu saksi atau keduanya tidak memenuhi syarat salah satu dari syarat-syarat diatas, maka tidak sah pernikahan tersebut dan harus diulang prosesi akad nikahnya dengan kesaksian orang yang memenuhi syarat
Dan dapat diketahui bahwasanya satu atau keduanya tidak memenuhi syarat dengan dua hal:
1. Jika ada dua saksi yang bersaksi bahwa dua saksi tersebut tidak memenuhi syarat.
2. Dengan pengakuan suami istri tersebut bahwa kedua saksi tersebut adalah orang yang tidak memnuhi syarat, maka batalah nikahnya.[46]
Seseorang yang berfikir atas dorongan Islam dalam mewujudkan dan menginginkan berkeluarga, ia akan memperhatikan dengan penuh kejelasan dan mendapatkannya tanpa letih terhadap berbagai tugas terpenting dan tujuan keluarga menurut Islam.[47]
Ada beberapa tujuan dari disyariatkan perkawinan atas umat Islam. Di antaranya adalah:
a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah untuk melanjutkan generasi yang akan datang. Hal ini terlihat dari isyarat surat an-Nisa’ ayat 1:
$pkr'¯»tâ¨$¨Z9$#(#qà)®?$#ãNä3/uÏ%©!$#/ä3s)n=s{`ÏiB<§øÿ¯R;oyÏnºurt,n=yzur$pk÷]ÏB$ygy_÷ry£]t/ur$uKåk÷]ÏBZw%y`Í#ZÏWx.[ä!$|¡ÎSur4
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang menjadikan kamu dari diri yang satu daripadanya Allah menjadikan istri-istri; dan dari keduanya Allah menjadikan anak keturunan yang banyak, laki-laki dan perempuan.”
Keinginan untuk melanjutkan keturunan merupakan naluri umat manusia bahkan juga naluri bagi makhluk hidup yang diciptakan Allah. Untuk maksud itu Allah menciptakan bagi manusia nafsu syahwat yang dapat mendorongnya untuk mencari pasangan hidupnya untuk menyalurkan nafsu syahwat tersebut. Untuk memberi saluran yang sah dan legal bagi penyaluran nafsu syahwat tersebut adalah melalui lembaga perkawinan.[48] Anak merupakan tujuan asal yang disandarkan dalam pernikahan. Maqsudnya yaitu melanjutkan keturunan sekiranya dunia ini tidak sepi dari jenis-jenis manusia. Empat perkara dalam menghasilkan anak menjadi sebuah ibadah, yang kesemuanya menjadi asal dari kecintaan Allah dalam pernikahan: Pertama, sesuai dengan kecintaan Allah dalam menghasilkan keturunan untuk melanjutkan generasi manusia. Kedua, mencari kesunahan Rosul dalam memperbanyak anak. Ketiga, mencari barokah doanya anak yang sholeh. Keempat, mencari syafaat dengan kematiannya anak yang masih kecil.[49]
b. Menjaga diri dari syetan
Kemampuan seksual yang diciptakan pada manusia, laki-laki dan perempuan untuk mencapai tujuan yang mulia yaitu berketurunan, beranak, memperbanyak anak dengan melanjutkann keturunan jenis manusia.
Benar, bahwa orang-orang islam melakukannya agar Allah memberkati keturunan yang dinantikan, namun nama Allah adalah nama yang paling suci, Ia akan memberi jawaban pada buah pikir orang Islam yang beriman yakni penyebutan nama Allah, pada kesempatan ini terdapat ketenangan bagi seorang muslim bahwa dia sedang mengerjakan amal yang bersih sehingga dia berhak menyebut nama Allah yang mulia.
Hubingan seksual yang diperintahkan antara suami dan istri dapat menjaga dirinya dari tipu daya syetan, melemahkan keberingasan, mencegah keburukan-keburukan syahwat, memelihara pandangan, dan menjaga kelamin.[50]Dari faedah tersebut Rosulallah SAW. mengisyarahkan:
مَنْ نَكَحَ فَقَدْ حَصَنَ نِصْفَ دِيْنِهِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي الشَّرْطِ الآخَرِ.
c. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. Hal ini terlihat dari firman Allah dalam surat al-Rum ayat 21:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGtÇËÊÈ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Penyaluran nafsu syahwat untuk menjamin kelangsungan hidup umat manusia dapat saja ditempuh melalui jalur melalui jalur perkawinan; namun dalam mendapatkan ketenangan dalam hidup bersama suami istri itu mangkin di dapatkan kecuali melalui jalur perkawinan.[51]
d. Menghibur jiwa dan menenangkannya dengan bersama-sama
Sesungguhnya kenyamanan jiwa dan ketenangan dengan bersama-sama, mamandang dan bermain main, menyegarkan hati, dan menguatkannya untuk beribadah sebagai sesuatu yang di perintahkan.
Jiwa yang gelisah menjadi enggan pada kebenaran karena kebenaran bersebrangan dengan tabi’at nafsu. jika nafsu dibebabni secara terus menerus dengan paksaan pada suatu yang bersebrangan dengannya maka ia menjadi keras kepala dan kokoh. Jika nafsu disegarkan dengan kenikmatan pada waktu tertentu maka ia menjadi kuat dan bergairah.
Bersahabat dengan perempuan termasuk istirahat yang menghilangkankan kesempitan dan menyegarkan hati. Sepantasnya bagi jiwa orang-orang bertakwa untuk menyegarkannya dengan hal-hal mubah.[52]
Secara bahasa nikah diartikan sebagai berkumpul, wathi, dan akad. Sedangkan secara istilah diartikan sebagai, Akad yang mengandung maksud untuk memiliki kesenangan wat’i dengan menggunakan lafadz nikah atau kawin atau yang semakna dengan keduanya.
Menurut penganut madzhab Imam Syafi’i berpendapat bahwa, yang dimaksud dari pernikahan itu sendiri yaitu “akad yang didalamnya menjamin diperbolehkannya persetubuhan antara kedua belah pihak“.
Sedangkan pengertian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab II pasal 2 mengenai dasar–dasar perkawinan disebutkan: perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.
1. Wajib
Menikah hukumnya wajib bagi orang yang khawatir berbuat zina jika tidak melakukannya. Sebagaimana kita ketahui menikah adalah satu cara untuk menjaga kesucian diri. Maka jika tidak ada jalan lain untuk meraih kesucian itu, kecuali dengan menikah, maka menikah hukumnya adalah wajib bagi yang bersangkutan. Imam al-Qurthubi mengatakan,”orang yang mampu menikah, kemudian khawatir terhadap diri dan agamanya, dan itu tidak dapat dihilangkan kecuali dengan menikah, maka dia harus menikah”.
2. Sunnah
Pernikahan tidak menjadi wajib, namun sangat dianjurkan bagi siapa saja yang memiliki hasrat atau dorongan seksual untuk menikah dan memiliki kemampuan untuk melakukannya, walaupun merasa yakin akan kemampuannya mengendalikan dirinya sendiri, sehingga tidak khawatir akan terjerumus dalam perbuatan yang diharamkan Allah. Orang seperti ini, tetap dianjurkan untuk menikah, sebab bagaimanapun nikah adalah tetap lebih afdhal daripada mengkontrasikan diri secara total (ber-thakhalli) untuk beribadah.
3. Makruh
27 |
4. Haram
Pernikahan menjadi haram bila bertujuan untuk menyakiti salah satu pihak, bukan demi menjalankan sunnah rasulallah Saw. Misalnya, ada seorang laki-laki yang mau menikahi seorang perempuan demi balas dendam atau sejenisnya. Ini hukumnya haram. Masuk dalam kategori ini ketidakmampuan memberi nafkah atau menunaikan kewajiban yang lainnya.
5. Mubah
Pernikahan menjadi mubah (yakni bersifat netral, boleh dikerjakan dan boleh juga ditinggalkan) apabila tidak ada dorongan atau hambatan untuk melakukannya ataupun meninggalkannya, sesuai dengan pandangan syari’at, seperti telah dijelaskan diatas.
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut darisegi hukum.
Adapun rukun-rukun nikah adalah:
1. Shighot (ijab qobul)
2. Calon istri
3. Calon suami
4. Wali
5. Dua orang saksi
Adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qobul. Ulama sepakat menempatkan ijab qobul sebagai rukun perkawinan. Sebagaimana rukun-rukun yang lain akad ijab qabul mempunyai syarat-syarat yaitu sebagai berikut.
a. Akad ijab qabul tersebut harus dengan kalimat “tazwijun nikah” atau dengan terjemahannya yaitu kalimat kawin dan nikah saja, maka tidak sah dengan kalimat lainnya, walaupun memberi artian seperti kalimat tersebut
b. Antara ijab dan qabul tidak diselingi oleh kata-kata yang tidak ada hubungannya dengan tuntunan nikah, maslahat, dan sunnah-sunnah dalam akad nikah, karena seakan-akan dengan kalimat tersebut dia berpaling dari akad itu.
c. Antar ijab dan qabul tidak diselingi diam yang lama yaitu waktu yang sekiranya menjawab setelah waktu itu sudah tidak dianggap lagi jawaban bagi akad ijab.
d. Antara ijab dan qabul harus sesuai dengan arti dan maksudnya, lain halnya jika tidak sesuai, mislanya si wali berkata “ aku nikahkan kamu dengan Fatimah putriku” lau si suami menjawab “aku bersedia menikahi zainab” maka yidak sah, karena tidak sama maksud akad ijab dan qabulnya.
e. Akad ijab qabul tersebut tidak digantungkan dengan sesuatu apapun, misalanya jika si wali di beritahu dengan kelahiran istrinya lalu dia berkata, “aku nikahkan putriku Fatimah denganmu” jika anak yang dilahirkan laki-laki, maka tidak sah.
f. Akad ijab qabulnya tidak menyebutkan batasan waktu baik tertentu atau tidak, yaitu yang disebut kawin mut’ah, maka tidak sah akad ijab qabul jika disebutkan batasan waktunya.
g. Akad ijab qabul tersebut harus dilafazkan sekiranya didengar oleh orang yang berada didekatnya, maka tidak sah jika hanya berbisik-bisik.
h. Dalam akad ijab qabul tersebut tidak boleh menyebutkan syarat yang merusak tujuan menikah.
i. Si wali dengan suami harus tetap keadaannya yaitu dalam keadaan memnuhi syarat melangsungkan akad nikah hingga selesai, lafaz ijab qabulnya dan jika salah satunya gila atau pingsan sebelum rampungya akad maka batalah akad itu.
a. Seorang wanita tulen, bukan banci.
b. Wanita itu tidak sedang melakukan ihram, baik dengan ihram haji atau umrah.
c. Wanita itu bukan istri seseorang, maka tidak sah wanita yang sudah bersuami menikah lagi sebelum diceraikan oleh suami yang pertama.
d. Wanita itu bukan mahram bagi calon pengantin pria, maka tidak sah perkawinan seorang pria dengan wanita mahramnya, baik mahram dari nasab.
e. Wanita itu tidak sedang menjalankan iddah
f. Wanita itu diketahui oleh calon suaminya, maka tidak sah seseorang kawin dengan wanita yang tidak diketahui sebelumnya.
g. Wanita itu bukan istri yang kelima bagi calon suami itu.
Adapun Syarat-syarat Menjadi Seorang Suami adalah sebagai berikut:
a. Dia menikahi calon istrinya dengan sukarela bukan karena dipaksa, kecuali karena paksaan agama.
b. Calon suami tersebut adalah laki-laki yang tulen, bukan banci.
c. Calon suami tresebut diketahui dengan jelas identitasnya oleh wali nikah calon istri dan kedua saksi.
d. Calon suami harus mengetahui calon istrinya baik dengan mengetahui namanya atau melihatnya dengan cara ditunjuk.
e. Calon suami tidak sedang ihram baik dengan haji atau umroh. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW :
f. “seorang yang sedang menjalankan ihram tidak boleh dikawinkan atau mengawinkan”
g. Calon istri bukan makhram atas suami baik makhrm karena nasab atau rodlo (kesusuan)
h. Calon suami harus mengetahui bahwa calon isterinya adalah halal baginya.
i. Calon suami adalah seorang muslim jika calon isteri adaah seorang muslimah, karena tidak sah nikahnya nikahnya seorang muslimah dengan non muslim. Firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 221.
j. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
k. Jangan kamu nikahkan orang musyrik sampai mereka beriman.
Wali secara umun adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dalam akad perkawinan wali itu adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.
1. Islam, maka tidak diperbolehkan wali perempuan itu orang kafir.
2. Baligh, dalam arti tidak diperbolehkan wali perempuan dari golongan anak kecil.
3. Berakal, juga tidak diperbolehkan wali yang gila, sama halnya gilanya itu terus-menerus atau putus-putus.
4. Merdeka, maka juga tidak diperbolehkan wali perempuan itu budak dalam ijab pernikahan, tetapi seorang budak tersebut boleh qobul dalam pernikahan.
5. Laki-laki. Tidak boleh seorang perempuan dan khuntsa itu menjadi wali.
6. Adil. Maka orang fasiq tidak boleh menjadi wali. Dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dengan dosa kecil serta memelihara muruah atau sopan santun.
7. Tidak sedang melaksanakan ibadah ihram, untuk haji atau umroh.
Orang-orang yang berhak menjadi wali adalah:
1. Wali Nasab, yaitu wali yang berhubungan tali kekeluargaan dalam perempuan yang akan kawin.
Adapun urutan wali nasab adalah sebagai berikut:
1) Ayah kandung;
2) Kakek, bapaknya ayah atau bapaknya kakek;
3) Saudara laik-laki kandung;
4) Saudara Saudara laki-laki seayah, tidak berhak saudara laki-laki seibu;
5) Anak saudara laik-laki kandung (keponakan);
6) Anak saudara laki-laki seayah, tidak berhak anak saudara laki-laki seibu;;
7) Paman atau saudara ayah kandung;
8) Paman atau saudara ayah seayah, tidak berhak paman saudara laki-laki seibu;
9) Anak paman saudara laki-laki syah kandung;
10) Anak paman saudara laki-laki ayah seayah;
11) Paman ayah;
12) Anak paman ayah;
13) Paman kakek, kemudian anaknya;
14) Paman ayah kakek, kemudian anaknya dan begitu seterusnya.
2. Wali Hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau pengusaha.
Para ahli fiqih sepakat bahwa pelaksanaan akad nikah hanya dihadiri oleh saksi-saksi. Karena kehadiran saksi-saksi merupakan rukun atau hakikat dari perkawinan itu sendiri.
Syarat-syarat menjadi saksi akad nikah
1) Sudah mencapai batas baligh (genap 15 tahun, bermimpi hingga mengeluarkan air sperma)
2) Keduanya adalah orang yang berakal, maka tidak sah kesaksian seorang yang gila sampai dia waras.
3) Keduanya dari kaum pria, dan tidak sah kesaksian seorang wanita atau banci dalam pernikahan.
4) Keduanya beragama islam
5) Keduanya termasuk orang yang adil dan tidak fasik.
6) Keduanya bukan orang yang idiot.
7) Keduanya bukan orang yang tuli
8) Keduanya bukan orang yang buta
9) Keduanya tidak bisu.
10) Keduanya harus memahami bahasa yang digunakan oleh wali dan suami maka tidak cukup hanya menghafal kalimat yang diucapkan si wali dan suami tanpa memahami artinya.
11) Keduanya tidak memiliki ingatan yang lemah
Ada beberapa tujuan dari disyariatkan perkawinan atas umat Islam. Di antaranya adalah:
a. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah untuk melanjutkan generasi yang akan datang.
b. Menjaga diri dari syetan
Kemampuan seksual yang diciptakan pada manusia, laki-laki dan perempuan untuk mencapai tujuan yang mulia yaitu berketurunan, beranak, memperbanyak anak dengan melanjutkann keturunan jenis manusia.
c. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang.
d. Menghibur jiwa dan menenangkannya dengan bersama-sama
Sesungguhnya kenyamanan jiwa dan ketenangan dengan bersama-sama, mamandang dan bermain main, menyegarkan hati, dan menguatkannya untuk beribadah sebagai sesuatu yang di perintahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abi al-Fath, Syaikh Taqiyuddin as-Syuhairy. 2000. Ahkamu al-ahkami: Syarhu Umdatu al-Ahkam Jus II. Bairut: Darul Kutub al-Islamiyah.
Abi Hamid al-Ghozali. 2004. Ikhya’ Ulumu al-Din Juz II. Kairo: Dar el-Hadith.
Bagir, Muhammad. 2008. Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama’. Bandung: Karisma.
Baharun, Segaf Hasan. 1426 H. Bagaimanakah Anda Menikah? Dan Mengatasi Permasalahannya. Pasuruhan: Ma’had Darul Lughoh Wadda’wah.
Hasan, M. Ali. 2006. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam. Jakarta: Siraja Prenada Media Grup.
Ibnu Hajar al-Asqalani. Fathul Baari Syarah Shohih al-Bukhari. diterjemahkan Amiruddin. 2008. Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari. Jakarta: Pustaka Azzam.
-------. 2008. Bulughu al-Marom: Min Adillati al-Ahkam Software. Tasikmalaya: Pustaka al-Hidayat.
Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991. 2001. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta
Muhammad Bin Qosim al-Ghozi. 2003. Fathu al-Qorib al-Mujib: Fi Syarhi Alfadzi al-Taqrib. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah.
Musthofa Dib al-Bagho. Tadzhib fi Adillati Matan al-Ghoyah Wa al-Taqrib. Malang: MSAA.
Nawawi, Muhammad bin Umar al-Jawi. Tausyaikh ‘Ala Ibni Qosim: Quutu al-Khabib al-Ghorib. Surabaya: Maktabah al-Hidayah.
Rasyid, Sulaiman. 2009. Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sati, Pakih. 2011. Panduan Lengkap Pernikahan: Fiqh Munakahat Terkini. Jogjakarta: Bening.
Shomad, Abd. 2010. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana.
Soemiyati. 2004. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan: Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.
Yusuf, Ali As-Subki. 2010. Fiqih Keluarga: Pedoman Berkembang dalam Islam. Jakarta: AMZAH.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّ حِيْم
Puja dan puji syukur ucapkan atas kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Fiqih Munakahat ini sub pembahasan “Fiqih Munakahat: Pengertian, Hukum, Rukun, dan Syarat serta Hikmah Pernikahan dalam Kehidupan” dengan baik sesuai kemampuan penulis.
Sekuntum Sholawat bertangkaikan Salam dengan semerbak parfum kerinduan, yang terbungkus dengan sampul ketulusan semoga tetap tercurahkan kepangkuan beliau, Kekasih kita, Junjungan kita, Nabi Agung, Nabi Besar Muhammad SAW. yang telah mengangkat manusia dari lembah kesesatan akidah menapaki terangnya Islam. Dan semoga kita nantinya mendapatkan Syafa’atul Udzma esok di yaumul qiyamah. Amin
Penulisan makalah ini adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan mata kuliah Fiqih Munakahat.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada :
1. Bapak Rektor UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2. Ustadz Ahmad Izzuddin, M. HI, selaku dosen mata kuliah “Fiqih Munakahat” yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan makalah ini.
3. Rekan-rekan semua dikelas A jurusan Al Ahwal Al Syaksiyah angkatan 2012-2013.
4. Secara khusus kami menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang tiada henti-hentinya memberikan dorongan dan semangat kepada kami baik dalam selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini.
5. Serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya saya berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dorongan serta memberikan semangat kepada kami sehingga makalah ini dapat selesai, Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Malang, 16 Maret 2013
i |
[1] Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 35-36.
[2] Maksud dari pengukuhan disini adalah: suatu pengukuhan yang sesuai dengan ketetapan pembuat syaria, bukan sekadar pengukuhan yang dilakuakan oleh dua orang yang saling membuat aqad yang bertujuan untuk mendapatkan kenikmatan semata.
[3] M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja Prenada Media Grup, 2006), 12.
[4] “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga)yang bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”
[5] Ibid., 9.
[6] Dr. Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), 282
[7] Ibid., 284
[8] D.A. Pakih Sati, Lc, Panduan Lengkap Pernikahan: Fiqh Munakahat Terkini, (Jogjakarta: Bening, 2011), 18
[9] Ibid,. 19
[10] Dr. Musthofa Dib al-Bagho, Tadzhib fi Adillati Matan al-Ghoyah Wa at-Taqrib, (Malang: MSAA, t. th), 157.
[11] Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama’, (Bandung: Karisma, 2008), 4.
[12] Ibid., 4-5
[13] Syaikh Taqiyuddin Abi al-Fath as-Syuhairy, Ahkamu al-ahkami: Syarhu Umdatu al-Ahkam Jus II,(Bairut: DAR al-KOTOB al-ILMIYAH, 2000), 19-20.
[14] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shohih al-Bukhari, diterjemahkan Amiruddin, Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 20.
[16] Dr. Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), 285.
[17] D.A. Pakih Sati, Lc, Panduan Lengkap Pernikahan: Fiqh Munakahat Terkini, (Jogjakarta: Bening, 2011), 21.
[18] Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama’, (Bandung: Karisma, 2008), 6-7.
[19] Dr. Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), 286.
[20] D.A. Pakih Sati, Lc, Panduan Lengkap Pernikahan: Fiqh Munakahat Terkini, (Jogjakarta: Bening, 2011),
[21] Muhammad Bin Qosim al-Ghozi, Fathu al-Qorib al-Mujib: Fi Syarhi Alfadzi al-Taqrib, ( Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2003), 106.
[22] D.A. Pakih Sati, Lc, Panduan Lengkap Pernikahan: Fiqh Munakahat Terkini, (Jogjakarta: Bening, 2011),
[23] Muhammad Bin Qosim al-Ghozi, Fathu al-Qorib al-Mujib: Fi Syarhi Alfadzi al-Taqrib, ( Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2003), 105-106.
[24] Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama’, (Bandung: Karisma, 2008), 7.
[25] Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 59.
[26] Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 59.
[27] Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bagaimanakah Anda Menikah? Dan Mengatasi Permasalahannya, (pasuruhan: Ma’had Darul Lughoh Wadda’wah, 1426 H), 72.
[28] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), 382.
[29] Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bagaimanakah Anda Menikah? Dan Mengatasi Permasalahannya, (pasuruhan: Ma’had Darul Lughoh Wadda’wah, 1426 H), 72-76.
[30] Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 64-68.
[31] Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bagaimanakah Anda Menikah? dan Mengatasi Permasalahannya, (pasuruhan: Ma’had Darul Lughoh Wadda’wah, 1426 H), 33-35.
[32] Ibid., 53-58.
[33] Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 69.
[34] Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqolany, Bulughu al-Marom: Min Adillati al-Ahkam Software, (Tasikmalaya: Pustaka al-Hidayat, 2008), Hadits no 1010.
[35] Ibid., Hadits no 1013.
[36] Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 74.
[37] Muhammad Bin Qosim al-Ghozi, Fathu al-Qorib al-Mujib: Fi Syarhi Alfadzi al-Taqrib, ( Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2003), 102.
[38] Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 77.
[39] Muhammad Bin Qosim al-Ghozi, Fathu al-Qorib al-Mujib: Fi Syarhi Alfadzi al-Taqrib, ( Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2003), 102-103.
[40] Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 77-78.
[41] Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, 2001), 20-22.
[42] Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bagaimanakah Anda Menikah? Dan Mengatasi Permasalahannya, (pasuruhan: Ma’had Darul Lughoh Wadda’wah, 1426 H), 19.
[43] Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, 2001), 20-22.
[44] Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 75-76.
[45] Ny. Soemiyati, S.H, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan: Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 2004), 50-51.
[46] Segaf Hasan Baharun, S.HI, Bagaimanakah Anda Menikah? Dan Mengatasi Permasalahannya, (pasuruhan: Ma’had Darul Lughoh Wadda’wah, 1426 H), 67-68.
[47] Dr. Ali Yusuf As-Subki. Fiqih Keluarga: Pedoman Berkembang dalam Islam. (Jakarta: AMZAH, 2010), 24.
[48] Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 46-47.
[50] Dr. Ali Yusuf As-Subki. Fiqih Keluarga: Pedoman Berkembang dalam Islam. (Jakarta: AMZAH, 2010), 25-27.
[51] Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Figh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: Kencana, 2006), 47.
[52] Dr. Ali Yusuf As-Subki. Fiqih Keluarga: Pedoman Berkembang dalam Islam. (Jakarta: AMZAH, 2010), 29.
0 komentar
Post a Comment