DAFTAR ISI
Halaman judul............................................................................................................ 1
Kata Pengantar........................................................................................................... 2
Bab I Pengertian Hukum Agraria Dan Hukum Tanah ......................................... 4
Bab II Administrasi Pertanahan............................................................................... 7
Bab III Hak-HakAtas Tanah.................................................................................... 10
Bab IV Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan............................................... 23
Bab V Pengadaan Tanah Oleh Negara Untuk Kepentingan Umum.................... 27
Bab VI Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah..................................................... 31
Bab VII Mediasi Sengketa Pertanahan/Alternatif Penyelesaian Sengketa (Adr) 34
Bab VIII Penatagunaan Tanah................................................................................ 40
Bab IX Tanah, Hak Asasi Manusia Dan Keadilan................................................. 45
Bab X PembebasanTanah (Hukum positip dan Hukum Islam)....................... 42
Bab XI HakUlayat dan Hak Bangsa .................................................................... 47
Bab XII PencabutanHak Atas Tanah ................................................................... 50
Daftar Pustaka............................................................................................................ 52
BAB I
PENGERTIAN HUKUM AGRARIA DAN HUKUM TANAH
A. Istilah Agraria
Istilah Agraria berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa
Yunani) berarti tanah pertanian, Agger
(Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, Agrarius (Bahasa Latin)
berarti perladangan, persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti
tanah untuk pertanian.
Dalam UUPA
(UU No. 5 tahun 1960) tidak memberikan
pengertian agrarian.Ruang lingkup agrarian menurut UUPA meliputi bumi, air,
ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnnya (BARAKA).
B.
Pengertian Agraria menurut UUPA :
1. Dapat berarti luas
Diatur dalam pasal 1 ayat 2 yang
meliputi bumi, air, dan ruang Angkasa.
a. bumi (pasal 1 ayat4 UUPA) meliputi:
-
permukaan
bumi
-
tubuh bumi
dan bawahnya
-
tubuh bumi,
yang berarti dibawah air
b. Pengertian air (pasal 1 ayat 5 UUPA) meliputi:
-
perairan
pedalaman
-
laut wilayah Indonesia
hal
tersebut diatas diatur dalam Pasal 1 ayat 4,5 UUPA
c.
Pengertian ruang angkasa (pasal 1 ayat 6), adalah ruang
diatas bumi serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya(UU No. 7 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan)
2. dalam arti sempit diatur dalam pasal 4 ayat 1 UUPA yaitu " Tanah " dalam pasal 4 ayat 1 ditentukan, bahwa adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi yang disebut tanah
tersebut.
Jadi pengertian agraria dalam arti sempit
adalah permukaan bumi yang disebut
tanah.
C.
Pengertian Hukum Agraria
Menurut Soedikno Mertokusumo, Hukum
Agraria adalh keseluruhan kaedah hokum, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur agrarian.
Menurut Budi Harsono, Hukum agrarian merupakan
satu kelompok berbagai bidang hokum, yang masing-masing mengatur hak-hak
penguasaan atau sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian
agrarian. MIsal Hukum Tanah, Hukum Air, Hukum Pertambangan, Hukum Perikanan,
Hukum Atas Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa.
Menurut E. Utrecht, Hukum Agraria
dalam arti sempit sama dengan Hukum Tanah.Hukum Agraria dan Hukum Tanah menjadi
bagian Hukum Tata Usaha Negara.
D.
Pengertian Hukum Tanah
Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan
dalam pasal 4 ayat 1 UUPA, yaitu”Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang
dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi,
yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan
hokum”.
Tanah dalam pengertian yuridis adalah
permukaan bumi, sedangkan hak-hak atas tanah hak atas sebagian tertentu
permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua panjang dan lebar. Sedangkan Ruang
dalam pengertian yuridis, yang terbatas, berdimensi tiga, yaitu panjang, lebar
dan tinggi yang dipelajari dalam Hukum Tata Ruang.
Yang dimaksud dengan Hak Atas Tanah
adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk mempergunakan
atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Kata “mempergunakan” berarti
hak atas tanah itu digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan. Perkataaan
“mengambil manfaat” berarti tanah itu digunakan untuk kepentinga bukan
mendirikan bangunan, misalnya , pertanian, perikanan, peternakan dan
perkebunan.
Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah
adalah keseluruhan peraturan-peraturan hokum, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan
lembaga-lembaga hokum dan hubungan-hubungan hokum yang kongkret.
Objek Hukum Tanah adalh Hak Penguasaan
Atas Tanah, yang berarti hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan
atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang
dihaki.
Hierarkhi
Hak-hak Penguasaan Atas Tanah dalam Hukum Tanah nasional adalah:
1. Hak Bangsa Indonesia atas tanah
2. Hak menguasai dari Negara atas tanah
3. Hak ulayat masyarakat hokum adapt
4. Hak-hak perseorangan, meliputi:
a. Hak-hak atas tanah
b. Wakaf tanah hak milik
c. Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan)
d. Hak Milim atas satuan rumah susun.
Hubunga hokum antara pemegang hak
denga hak atas tanahnya, ada dua macam asas dalam ukum Tanah yaitu:
1.
Asas Accesie atua Asas Perlekatan
Yaitu bangunan dan tanaman yang ada
diatasnya merupakan suatu kesatuan
2. Asas
Horizontale Scheiding atau Asas Pemisahan Horizontal
Dalam asas ini bangunan dan tanaman
yang ada diatas tanah bukan merupakan bagian dari tanah.
BAB II
ADMINISTRASI
PERTANAHAN
A.
Administrasi Pertanahan
Administrasi Pertanahan termasuk dalam
bidang Administrasi Negara (Public
Administration). Administrasi Negara sebagai keseluruhan yang dilakukan
oleh seluruh Aparatur Pemerintah dan suatu Negara dalam usaha mencapai tujuan
Negara.
Dalam fungsinya, administrasi Negara
mempunyai tugas utama yakni:
1. Menentukan tujuan menyeluruh yang hendak dicapai
(organizasional goal);
2. Menentukan kebijaksanaan umum yang menyangkut
seluruh organisasi (general and over allpolicies).
B.
Administrasi Pertanahan pada Zaman Pemerintahan
Belanda
Administrasi pertanahan dijalankan
berpedoman pada politik hokum pertahan colonial pada waktu itu. Dasar peraturan
yang berlaku dengan berpedoman
pada pasal 163 (1) IS (Indische Staatsregeling), yang membagi tiga
golongan masyarakat:
1. Golongan Indonesia
2. Golongan Eropa
3. Golongan Timur Asing
Akibat adanya penggolongan masyarakat
diatas, menimbulkan hokum yang beraneka ragam yang berlaku.Dari pasal 163 dan
pasal 131 IS berlaku dua macam hokum yaitu:
Hukum
tertulis atau hokum undang-undang.
Sebagian besar terdapat dalam Burgerlijk Wetboek
(BW)
Hukum yang tidak tertulis atau hokum agrarian yang
terdapat dalam hokum adapt.
Adapun hokum agararia yang berlaku pada zaman pemerintah Belanda
adalah:
1. Agrarische Wet (S. 1870 - 55 )
2.
Domein Verklaring ( S.
1870-118 a) / pernyataan Domein
a.
Algemene Domein Vewrklaring ( S. 1875-119a )
b.
DomeinVerklaring untuk Sumatera Ps 1 dari S. 1874-94 f
c.
Domein Verklaring untuk Residentie Manado dim Ps 1 dari
1877-55
d.
Domein Verklaring
untuk Residentie Zwider en Ooster fdeling van Borneo ( ps 1. S. 1888-8 )
3.
Koninklijk Besluit/ keputusan raja tgl 16 april 1872 no 29 S. 1872117 dan peraturan
pelaksanaannya.
4. 4. Buku II KUH
Perdata
Ad. I Agrarisch Wet bertujuan
1.
memperhatikan
perusahaan swasta yang bermodal besar dengan jalan memberikan tanah2
negara Dg hak Erfpacht s/d 75 th
b. memberikan kemungkinan bagi
pengusaha untuk menyewakan tanah adat.
2.
memperhatikan kepentingan rakyat asli
a.
melindungi hak2 tanah rakyat ash
b. memberi kesempatan pd
rakyat ash untuk memperoleh hak tanah baru ( Agrarische
Eigendom )
Ad. II
DomeinVerklaring ( Pernyataan Domein )
Asas " semua tanah yang tidak dapat
dibuktikan adanya hak eligendom atas tanah tsb oleh orang lain adalah
domein negara "
Jadi Berdasar hk adat:
tidak mempunyai bukti otomatis mjd tanah negara ( Domein Negara ) j adi tidak sama dengan ps 570 BW
Ad III. Koninkljk
Besluit/ Keputusan Raja
Hak agrarische
Eigendom
Hak yang bertujuan
memberi kpd pribumi suatu hak yang kuat atas sebidang tanah
3.
Administrasi Pertanahan pada masa sesudah kemerdekaan
sebelum berlakunya UUPA (1945-1960)
Pada masa ini semula urusa agraria menjadi kewenangan Menteri Dalam
Negeri.Tanggal 29 Maret 1955 dengan Kepres No. 55/1955, dibentuk Kementerian
Agraria.Perlu diketahui bahwa pada masa ini yang berlaku adalh UUDS 1950 dengan
sistem pemerintahan parlementer. Hal ini berlaku sampai dikeluarkannya Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959, dan berlaku kembali UUD 1945 dan sejak saat itu berlaku ketentuan pasal 33
ayat 3 UUD 1945.
4.
Administrasi Pertanahan menurut UUPA (UU No. 5 tahun
1960)
Untuk mengakhiri politik, tujuan,asas-asas hukum agraria jajahan, maka
dibentu hukum tanah nasionalyang berdasar hukum adat tentang tanah dengan
memberikan wewenang hak menguasai negara atas dasar ketentuan pasal 33 aayt 3
UUD 1945. Hak Menguasai dari Negara memberi wewenang untuk:
a.
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut
b.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi air dan ruang angkasa
c.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antar
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa
BAB III
HAK-HAK ATAS TANAH
A.
Hak Atas Tanah
Pasal 4
ayay 1 dan 2 UUPA menytakan:
1.
Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang
dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah permukaan
bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta
badan-badan hukum
2.
Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula
tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam
batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang
lebih tinggi.
Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 adalah: hakmilik, hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan
dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalm hak-hak yang tidak tersebut diatas.
Hak-hak
atas tanah menurut UUPA antara lain:
1.
Hak milik
(ps 20 )
Adalah hak turun temurun, terikat dan
terpenuh (psikologis emosional ) yang
dapat dipunyai orang atas tanah yang mengingat ps 6.
Ps 6 : semua
hak atas tanah mempunyai fungsi social
HM tidak
terbatas jangka waktunya
HM dapat
beralih ex pewarisan dll
HM dapat menjadi jaminan utang yang di bebani Hak Tanggungan
Biaya tanah milik yang dapat diwakafkan ( ps 49 UUPA )
Biaya tanah milik setelah bukan HM
Yang dapat mempunyai HM : MNI
BH dengan syarat
Terjadinya HM : pewarisan, hibah ybs jual beli
Hapusnya HM : (ps
27 )
1.
Tanah jatih kepada negara
1. karena pencabutan hak berdasar ps 18
2. karena penyerahan sukarela oleh pemiliknya
3. karena diterlantarkan
4. karena ps 21 ayat 3 yi : orang asing ...
ps 26 ayat 2 yi : jual
bell, hibah, dsb
2.
Tanahnya Musnah
2.
HGU (Ps 28)
adalah hak untuk mengukuhkan
tanah yang dikuasai langsung oleh negara, selama jangka waktu yang tersebut dan
ps 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, peternakan.
Ps 29: 1. HGU max 25 tahun
2. untuk perusahaan karena waktu lama
dapat dengan 35 tahun
3. dapat diperpanjang max 25 tahun.
Yang dapat mempunyai HGU adalah:
1. WhTI
2. badan2 yang didirikan menurut hk Indonesiadan
berkedudukan di Indonesia .
Terjadmya
HGU karena penetapan pemerintah HGU dapat dijadikan/ dibebankan hak tanggungan
Hapusnya
HGU
a. jangka waktunya berakhir
b. dihentikan sebelum berakhir karena sesuatu syarat
tidak terpenuhi
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir
d. dicabut untuk kepentingan umum
e.
diterlantarkan
f. tanah musnah
g. ketentuan dim ps 30 ay
2. (karena memberi syarat ...
)
3. HGB:
(ps 35 )
yi : hak
untuk mendirikan dan mempunyai bangunan2 atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tanhun,
hal ini atas peraturan penanggung
hak bisa diperpanj ang 20 tanhun. Yang
dapat mempunyai HGB
a.
WNI
b.
Badan hokum yang didirikan menurut hokum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia
c.
WN asing yang bertempat tinggal di Indonesia,
dibatasi luas dan jumlah bidang tanah
yang dikuasai, khusus untuk bertempat tinggal.
d.
BH yang didirikan menurut hokum asing dan mempunyai
perwalian di Indonesia
untuk kegiatan yang menguntungkan bagi
kepentingan Nasional.
e.
Badan Perwakilan Negara Asing dan organisasi resmi
Internasional
HGB
terjadinya :
1. mengenai tanah, yang dikuasai langsunbg oleh
negarakarena penetapan Pemerintah
2.
mengenai
tanah milik : karena perjanjian yang
berbentuk otentik antara pemilik tanah yang berangkutan dengan pihak yang akan memperoleh HGB itu yang bermaksud menimbulkan halt tersebut.
HGB dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan (ps39)Hapusnya
HGB
a.
jangka waktunta berakhir
b.
dihentikan sebelum berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum
jangka waktunyaberakhir
d. d,
dicabut untuk kepentingan umum
e. diterlantarkan
f. tanah musnah
g. ketentuan dlm ps 36 ay 2. (Yi : org / BH yang
tidak memenuhi syarat ... )
4. Hak Pakai (ps 41)
adalah : hak untuk menggunakan dan / atau memungut hasil
dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan
dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat
yang berwenang memberikannya atau dan perjanjian
dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala
sesuatu asal tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan UU 'Mi.
Cara
memberikan hak pakai
1. selama j angka waktu yang tertentu selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan
tertentu.
2. dengan Cuma2 dengan pembayaran atau pemberian
jasa berupa apapun.
3. pemberian
hak pakai tidak boleh dan disertsi syarat2 yang
mengandung pemerasan
NB :
- tanah yang dikuasai Negara hak
pakai kalau mau dialihkan dengan izin pejabat yang berwenang
- hak pakai atas tanah milik dapat dialihkan asal dimungkinkan dalam perj
anj ian yang bersangkutan
Hak pakai khusus disediakan
1.
instansi Pemerintah, Pemda, Desa dsb
2. Gedung Kedutaan dan
Ruma Tangga Kepala Perwakilan Negara2 sahabat
3.
Badan2 Keagamaan dan Sosial
Hak pakai tidak boleh dipakai sebagai Hak
Tanggungan.
B. Penetapan
Hak Atas Tanah
Hak atas dimulai dari pengkajian
terhadap bentuk-bentuk penguasaan tanah yang diakui sebagai miliknya dari segi
riwayat perolehannya, kekuatan hubungan hukumnya dengan tanah tersebut. Pemilik
tanah akan menunjukkan dimana letak tanahnya,batas-batasnya, dan dimana tanah
tersebut diperoleh. Bentuk yang paling sderhana dari penguasaan tersebut adalh:
a. dikuasai berdasarkan pembukaan tanah
b. dikuasai karena diperoleh dari pembagian tanah
dari Negara
c. karena penetapan undang-undang
d. karena title hokum umum seperti warisan,hibah,
hadiah, jual beli, tikar menukar
e. konsolidasi tanah
Mekanisme penetapan hak atas tanah adalah:
a. berdasarkan buku kedua tentang konversi terhadap
hak-hak lama yang sudah ada sebelum berlakunya UUPA (pasal 22 ayat 3) missal Hak
Epacht dikonversi menjadi hak guna usaha, Hak postal dikonversi menjadi hak
guna bangunan, hak eigendom dikonversi menjadi hak milik
b. berdasarka penetapan pemerintah (pasal 22 ayat3)
Pengaturan hakatas tanah tersebar
dalam berbagai aturan peraundang-undangan antara lain:
a. Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1961 tentang
penetapan terhadap Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah
termasuk penghapusannya.
b. Hak Pengelolaan masih tersebut dalam Permendagri
No. 1 tahu 1977 jo PMNA/KBPN No. 9 tahun 1999, sedangkan pengaturan Hak Milik
belum ada pengaturannya.
Tahap-tahap proses penetapan hak atas tanah
secara garis besar adalah:
a. Pemohon mengajukan bukti dan riwayat perolehan
serta hubungan hokum penguasaan dengan tanah yang dimohonnya
b. Pemohon menunjukkan dimana letak dan pengakuan
titik-titik batas tanah yang dimohonnya tersebut
c. Pengujian letak dan batas-batas tanah tersebut
dengan kegiatan pengukuran yang meliputi:
d. mengukur dan menetapkan batas-batas tanah yang
ditunjukkannya
e. menguji dengan data-data fisik, yuridis,
administrasidi kantor BPN yang bersangkutan
f. meminta pengakuan dari pemilik tanah yang
berbatasan
g. pengujian mengenai kecocokan bukti pemohon dengan
objek tanah. Serta kepentingan orang lain atas permohonen tersebut (oleh
Panitia Pemeriksa Tanah).
Proses penetapan hak atas tanah berupa;
-
pencocokan dan pengolahan data
-
penetapan/keputusan hak atas tanah
proses pendaftaran:
-
pembuatan buku tanah dan pencatatan pada daftar isian
-
penerbitan tanah bukti hak atas tanah
C. Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Dalam pasal 3 UUPA,
hokum tanah nasional mengakui adanya hak ulayat dan yang serupa dengan itu dari
masyarakat hokum adat, sepanjang pada kenyataannya masih ada.
Realita yang ada
banyak didaerah-daerah terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hokum
adapt yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan
hokum adapt setempat dan diakui oleh masyarakat hokum adapt yang bersangkutan sebagai
tanah ulayatnya.Untuk itu pemerintah mengeluarkan suatu pedoman yaitu PMA/Kep
BPN No. 5 tahun 1999 tentang pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat.
Pelaksanaan hak ulayat dianggap masih
ada bila dicirikan sebagai berikut:
a. terdapat sekelompok orang yang masih terasa
terikat oleh tatanan hokum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hokum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi
lingkungan hidup para warga persekutuan hokum tersebut dan tempatnya mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari
c. Terdapat tatanan hokum adapt mengenai pengurusan,
penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga
persekutuan hokum tersebut.
Terkait dengan bentuk hukum penguasaan tanah pada masyarakat
adat dikenal dengan ”hak ulayat”. Ini merupakan istilah yang digunakan secara
formal, walaupun sesungguhnya pada setiap etnik istilah yang digunakan
berbeda-beda. Dalam bahasa hukum maupun ilmiah, istilah ”tanah ulayat” selalu
digunakan untuk menyebut tanah-tanah yang dikuasai menurut hukum adat pada
suatu etnik tertentu.
Secara umum, menurut Purbacaraka dan Halim, hak atas
tanah adat yang terdapat pada berbagai suku di Indonesia dapat dibedakan atas dua
bentuk, yaitu: ”hak ulayat” dan ”hak pakai”. Hak ulayat merupakan hak meramu
atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat yang
bersifat komunal ini, pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk
menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut. Untuk sementara waktu, seseorang berhak
mengolah serta menguasai sebidang tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi bukan
berarti bahwa hak ulayat atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak
ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut.
Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak
penguasaannya atas tanah ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan
seseorang untuk memakai. sebidang tanah bagi kepentingannya, biasanya terhadap
tanah sawah dan ladang yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam
waktu yang lama.
Dalam banyak peraturan perundang – undangan yang berlaku
di Indonesia
saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat
tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat.
Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai
taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim,
sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif, aplikatif dan come into force ketika dihadapkan dengan
masyarakat modern dewasa ini.
Namun, kenyataan
ini tidak dengan sendirinya membuat hukum adat bebas dari permasalahan dalam
penerapan, khususnya apabila kita melihat dalam bidang hukum tanah adat.
Perihal UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya,
sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga – lembaga hukum adat dan
kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak – hak atas tanah. Pasal 5
UUP mengatur bahwa “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini,
dan dengan peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini, dan
denga peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsure-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Lebih dari pada itu, dalam mukadimah UUPA 1960
menyatakan bahwa berhubungan dengan apa yang tersebut dalam
pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang
berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian
hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, denga tidak mengabaikan unsur – unsur yang
bersandar pada hukum agama.[1]
Dengan demikian, dengan berlakunya UUPA 1960, kita meniadakan dualisme hukum
pertanahan dengan menundukkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai
landasan utama hukum agraria nasional. Namun. Perlu diingat bahwa hukum agraria
nasional itu, berdasarkan atas hukum adat tanah, yang bersifat nasional, bukan
hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional. Artinya, untuk menciptakan
hukum agraria nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh penjuru nusantara,
dicarikan format atau bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan
adat. Tentu saja, tujuannya adalah untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam
lapangan hukum tanah adat.
Untuk itu, dalam
substansi Pasal 5 UUPA 1960 kita dapat menarik kesimpulan, sebagaimana yang
diuraikan oleh Prof. Dr. A. P.
Parlindungan,S bahwa hukum adat yang berlaku dalam bidang pertanahan atau
agraria adalah yang terhadap kepentingan nasional (prinsip nasionalitas), pro
kepada kepentingan negara, pro kepada sosialisme Indonesia, tidak bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi, dan ditambah dengan
unsur agama.
Jadi, motivasi
dari hukum agraria nasional, dalam hal ini UUPA 1960 sebagai induknya,
benar-benar akan mengurangi konflik pertanahan yang dapat timbul sebagai akibat
penerapan hukum tanah adat yang bersifat kedaerahan.
Hukum agraria
nasional tidak hanya tercantum dalam UUPA 1960 saja, tetap juga terdapat dalam
peraturan perundang – undangan lainnya yang mengatur tentang perjanjian –
perjanjian ataupun transaksi – transaksi yang berhubungan dengan tanah.
Misalnya, Undang – Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil
Pertanian, Undang – Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Penetapan Ceiling Tanah
dan Gadai tanah pertanian. Di sini dapat dilihat bahwa semua masalah hukum
tanah adat secara praktis di akomodasi oleh peraturan perundang-undangan yang
dibuat oleh pemerintah (penguasa).
Bahkan dalam
Undang – Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
No.23 Tahun 1997), hukum adat juga dijadikan dasar penetapan dan
pembentukannya. Dimana dalam Pasal 9 UU No.23 Tahun 1997 disebutkan bahwa
pemerintah menetapkan Kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan
hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat
istiadat, dan lain – lain yang hidup dalam masyarakat.
Dalam hal ini
kita bisa mendapati bahwa pengelolaan dan penataan lingkungan hidup, yang
bagian utamanya adalah tanah, juga mengandalkan hukum adat yang berlaku secara
nasional untuk menjadi dasar pengaturannya. Untuk kesekian kalinya hukum adat
(hukum tanah adat) mendapat kedudukan yang tepat dalam hal ini.
Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki
porsi yang cukup besar. Hukum tanah adat yang dibahas dalam pembahasan
sebelumnya menunjukkan bahwa dengan adanya tanah persekutuan dan tanah
perseorangan menunjukkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial,
yang serupa diatur dalam UUPA. 1960.
D. Pengadaan
Tanah
Sistem pengadaan
tanah secara umum terbagi dalam dua pengertian yaitu dalam arti sempit dan
dalam arti luas.
1. Dalam arti luas pengadaan tanah meliputi:
a. karena Undang-undang (UU No. 86 tahun 1956
Nasionalisasi dan UU N0. 3 Prp tahun 1960);
b. berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP No. 8 tahun
1953 tentang Penguasaan Tanah Negara)
c. berdasarkan penyerahan Kedaulatan Negara (Surat
Edaran Depdagri No. H.20/5/7 tahun 1950 tentang Tanah yang diambil oleh
balatentara Jepang)
d. karena Penyerahan/Hibah
e. karena Peraturan Tata Cara Pengadaan Tanah
(Permendagri No. 5 tahun 1987 tentang Fasum Fasos;
f. karena jual beli/pemilikan tanah(Bijblad 11372)
2. Dalam arti sempit dengan dua cara:
a. Melalui acara pencabutan hak atas tanah (UU No.
20 tahun 1961 jo. PP no. 39 tahun 1971)
b. Melalui tata cara pengadaan tanah (Perpres No. 36
tahun 2005 jo. Keppres No. 55 tahun 1993)
Pengadan tanah
tersebut diatas akan menjadi barang milik Negara karena berkaitan dengan system
pengelolaan kekayaan/barang milik Negara.
E. Pendaftaran
Hak Atas Tanah
Dasar Hukum : PP No 10 Tahun 1961 dan sejak 8 Oktober
1977 disempurnakan dengan PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Pendaftaran tanah diberlakukan milai tanggal 24 September 1961berdasarkan pasal
19 UUPA.
Tujuan Memberi kepastian hokum dalam bidang pertanahan
yaiti hak atas tanah Output dari pendaftaran tanah adalah Menghasilkan tanda
bukti hak yaiti sertifikat hak atas tanah sebagai realisasi salah satu tujuan
UUPA
Pelaksana Dilaksanakan oleh pemerintah secara bertahap
dengan pertimbangan ketersediaan peta dasar pendaftaran.
Sertifikat hak atas tanah berisi :
1.
data fisik (keterangan tentang letak, batas, luas
bidang tanah, serta bangunan
2.
data yuridis (status tanah dan bangunan yang didata,
pemegang hak atas tanah dan beban-beban yang lain yang ada diatasnya.
Manfaat
sertifikat Hak Atas Tanah:
1.
mengurangi kemungkinan timbulnya sengketa dengan pihak
lain
2.
memprkuat posisi
tawar menawar apabila hak atas tanah diperlukan pihak lain untuk kegiatan
pembangunan
3.
mempersingkat proses peralihan serta pembebanan hak
Pendaftaran
tanah meliputi :
1.
pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah
2.
pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak
atas tanah
3. pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat
Pendaftaran tanah dimulai tgl 24
September 1961 berdsar ketentuan ps 19 UUPA yaitu untuk menjmin kepastian hukum
tentang HAT.
SISTEM
PUBLIKASI DALAM PENDAFTARAN TANAH
Yaitu mempermasalahkan sejauh mana
orang boleh mempercayai kebenaran data
yg disajikan oleh negara sehingga hasil kegiatan pendaftaran yg dilaksanakan dan apa akibat hukumnya apabila dalam melaksanakan
perbuatan hokum dengan tanah tsb
tidak terbukti benar.
Pendaftaran yg diselenggarakan system publikasmya negatif yg mengandung unsure positif, yaitu ps 19 (2) huruf c UUPA yg
menyatakan pendaftaran meliputi; pemberian surat2 tanda bukti hak, yg berlaku
sebagai alat pembuktian yg kuat. Hal ini juga dikuatkan dalam ps 23, 32,
38 bahwa ; pendagtaran merupakan alat
pembuktian yg kuat.PP No. 10 tahun 1961 jo PP No. 24 tahun 1997,
mengimplementasikan suatu stelsel negative, artinya Negara tidak menjamin
kebenaran data yang disajikan.
DALAM
SISTEM PEMBUKTIAN POSITIP;
Dlm system ini, negara menjamm
kebenaran data yg disajikan. Hal ini sbg perwujudan ungkapan : "
TI'T'LE BY REGISTRATION (DENGAN PENDAFTARAN
DICIPTAKAN HAK ).DAN pendaftaran menciptakan suatu
" INDEFEASIBLE TITLE "
(HAK YG TIDAK DAPAT DIGANGGU GUGAT dan THE REGISTER IS EVERYTHING (untuk
memastikan adanya suatu hak, dan
pemegang haknya cukup dilihat buku tanahnya). Sekali didaffar pasti benar, hanya bisa menuntut pemberian ganti kerugian/ compensation berupa uang. Jadi negara
menyediakan "ASSURANCE FOUND "Hal di atas tidak dikenal dlm UUPA.
Kalau system pendaftaran dengan system
publikasi negatif yang murni menggunakan " Sitem Pendaftaran Akta
"/ Regitration of deeds , jadi akta merupakan tanda bukti haknya. Kalau dalam
PP 10/1961 dan PP 24/1997, sebagai halnya
pendaftaran dengan dengan system publikasi positif, maka menggunakan yg disebut
" system pendaftaran Hak " /
Registration Of Title ". Jadi
akta hanya merupakan sumber data
yuridis. Pembukuan dilaksanakan dalam bentuk dokumen yang disebut buku tanah (register). Dokumen tanda buktinya berupa
Sertifikat "Certificate Of Title " yg
menurut PP 10/1961 jo PP 24/1997
terdiri salinan buku tanah dan surat
ukur.
Kelemahan system Publikasi Negatif.
Biarpun sudah
didaftar, dan ditrbitkan sertifikat, bila digugat oleh pemegang yang sebenarnya, dimungkinkan. Dan dibatalkan.
Sedangkan dalam system publikasi Positif : hal diatas tidakn mungkin terjadi, karena pendaftaran tanah tidak
menciptakan hak yang dapat diganggu
gugat.
Cara mengatasi
kelemahan Publikasi Negatif yaitu
Dengan lembaga ;
1. VERJARING, Pada masa Hindia Belanda, yaitu
ps 584
KUHPerdata berdasar KUHP perdata tidak berlaku lagi
2. RECHTSVERWERKING, pada masa sekarang.
VERJARING ; pihak yang menguasai tanah karena
lampaunya waktu menjadi Pemiliknya.
RECHTSVERWERKING ; pihak yang mempunyai tanah
karena Lampaunya waktu kehilangan
haknya untuk memperoleh kembali. Contoh : menterlantarkan
tanah
Lembaga RECHTSVERWERKING dalam PP 24/1997 menjadi
pelengkap untuk mengatasi System
Publikasi Negatif.
Peningkatan system publikasi menjadi positif
secara bertahap, yaiti melalui pasal 32
ay 1,2 PP 24/1997 yaitu HAT hasil pendaftaran yang tidak mengalami gugatan, gugatan tidak diterima hakim,
maka setelah 5 tahun se j ak diterbutkan sertifikat, maka oleh UU
diterbitkan sehingga terdaftar dengan
system publikasi positif.
F. Penanganan Masalah Pertanahan
Penanganan masalah
pertanahan merupakan bagian tugas pokok dan fungsi Badan Pertanahan Nasional. Masalah
yang ditangani yaitu:
a. Sengketa dan masalah pertanahan dalam segi
administrasi
Sengketa dan masalh yang masih dapat
diselesaikan sesuai dengan lingkup kewenangan administrasi. PP No. 40 tahun
1996, suatu hak atas tanah hapus dengan pembatalan peapabila ternyata kewajiban dan syarat-syarat
tidak dipenuhi oleh penerima/pemegang hak atas tanah (pasal 17, 35, dan 55 PP
tersebut, sepanjang pemegang hak atas tanah masih original.
b. Sengketa dan masalah pertanahan yang menjadi obyek
perkara di Pengadilan Negeri tergugat atau saksi.
Senketa-sengketa di pengadilan dimana
BPN menjadi pihak berperkara (tergugat). Kehadiran di pengadilan dilakukan
sebagai pelaksana tugas pokok dan fungsi yang hadir langsung mempertahankan
haknya sendiri di Pengadialn(Kep. KA. BPN No. 1 tahun 1989)
c. Pelaksanaan putusan-putusan Pengadilan yang perlu
dan ditindaklanjuti oleh BPN
Melaksanakan putusan-putusan pengadilan
(PTU, umum/perdata, pidana bahkan Pengadial Agama). Baik yang diajukan sendiri
dari pengadilan yang bersanmgkutan maupun pihak yang perkaranya dikabulkan oleh
pengadilan.
Kendala-kendala dalam melaksanakan
tugas dan fungsi diatas adalah:
-
adanya dua
putusan pengadilan berkekuatan administrasi tetap yang isi/substansinya saling
bertentangan atas satu lokasi tanah obyek perkara
-
adanya putusan
pengadilan yang berkekuatan administrasif tetap atas suatu lokasi tanah yang
secara fisik dilapangan, sudah tidak sesuai dengan keadaan pada saat diajukan
gugatan
-
tidak
diadakannya pengembalian batas pada obyek perkara ketika perkara berjalan,
sehingga menimbulkan kesulitan pada saat eksekusi atas obyek yang salah.
BAB IV
KEBIJAKAN NASIONAL DI BIDANG PERTANAHAN
A. Penyempurnaan
dan Reorientasi Hukum Tanah Nasional
Hal ini perlu dilakukan agar tersedia perangkat hokum
yang secara lengkap dan jelas memuat ketentuan-ketentuan hokum yang dapat
menghindarkan penafsiran yang keliru dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan
pembangunan diharapkan benar-benar didasarkan pada kebijakan baru, yang kembali
pada semangat kebangsaan, kerakyatan, kebersamaan dan keadilan dari UUPA
Usaha penyempurnaan hokum tanah nasional akan berhasil
mencapai tujuan bila pembangunan dalam era reformasi dilaksanakan dengan
kebijakan baru seperti yang dinyatakan dalam Ketetapan MPR RI Nomor
XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Kebijakan
pertanahan berbeda dan tidak mengacu
kepada Tap MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam, karena isinya disitu adalh “pembaruan” bukan “penyempurnaan”
Penyempurnaan mengandung arti membikin sesuatu yang
sudah baik, menjadi lebih baik. Usaha penyempurnaan Hukum Tanah Nasional
adalah:
-
Melengkapi isi UUPA yang merupakan peraturan dasar
Hukum Tanah nasional dan memperbaiki rumusan-rumusan ketentuan-ketentuannya
dengan suatu peraturan perundang-undangan yang berbentuk Undang-undang dengan
mempertimbangkan:
a.
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu “Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”
b.
Hukum adat sebagai sumber utamanya, dilengkapi dengan
lembaga-lembaga hokum baru dalam memenuhi kebutuhan masa kini dan mendatang,
menghadapi era globalisasi dan pelaksanaan kebijakan pemberian otonomi pada
daerah
c.
Semangat, tujuan, konsepsi, asas-asas dasar
lembaga-lembaga hokum dan system serta tata susunannya
-
Obyek pengaturan UUPA berdasar pasal 33 ayat 3 UUD 1945
tidak terbatas pada tanah saja, tetapi bumi, air, ruang ankasa, maka dalam
perkembagannya masing-masing sudah mendapat pengaturan sendiri-sendiri antara
lain:
a.
Perairan UU No. 4 tahun 1960 tentang Wilayah Indonesia
UU No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia
UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan
b.
Perikanan UU
No. 9 tahun 1985
c.
Pertambangan UU No. 44 tahun 1960 tentang Pertambangan
minyak dan Gas umi
d.
Kehutanan UU No. 5 tahun 1967 jo 41 tahun 1999 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kehutanan
e.
Sumber daya alam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
f.
Penataan Ruang UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan
Ruang
B. Akses Tanah Untuk Rakyat
-Pasal 9 UUPA merupakan realisasi prinsip kenasionalan UUPA dalam ayat 2
menyatakan “Tiap WNI, baik pria maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama
untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya
bagi diri maupun keluarganya”.
Dalam kenyatannya, akses yang dijamin oleh UUPA sebagai yang tersebut
dalam pasal 9 ayat 2 tersebut belum memperoleh makna yang kongkret. Intensitas
pembangunan yang menuntut penyediaan tanah yang relative luas untuk berbagai
keperluan (industry, pemukiman prasarana ) memaksa alih funfsi tanah pertanian
menjadi tanah nonpertanian dengan segala konsekuensinya.
Sementara dikalangan petani jumlah mereka yang mempunyai tanah kurang
dari 2 ha sejumlah 8 kali lipat dibandingka denga yang mempunyai tanah dibawah
2 ha.Pemilikan tanah yang minimum ini masim dimungkinkan menyusut lagi, karena
adanya pewarisan.
-Berkenaan dengan alih fungsi tanah pertanian, gejala yang diwaspadai
lebih dari 20 tahun kenyatannya secara kuantitatif terus bertambah.
- Upaya pencegahannya untuk tidak terjadinya alih fungsi tanah adalh
melalui kebijakan pemberian ijin lokasi yang sudah terlanjur diberikan maupun
yang belum diberikan, dan perlu penyempurnaan RTRW dibeberapa kabupaten.
-Tanah perkotaan, tidak jauh beda dengan tanah di pedesaan, akses tanah
untuk rakyat sulit didapat. Tetapi disisi lain terdapat badan hokum atau
perorangan ada yang memiliki tanah berlebihan untuk investasi atau spekulasi.Walaupun
sudah diatur dalm UU 56 Tahun1960 tentang batas pemilikan tanah agar diatur
dengan PP, tetapi kenyataannya PP dimaksud sampai sekarang belum terwujud.
C. Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam
Menghadapi Era Globalisasi
Penyempurnaan yang dimaksud disini adalah yang berkaitan dengan
penguasaan atas tanah. Misalnya ada tuntutan dalam kemudahan dalam
memperolehnya terkait dengan dunia usaha. Dengan dimungkinkannya perubahan Hak
Milik yang sudah bersertifikat menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai secara
langsung. Dalam usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) memerlukan tanah
yang berstatus Hak Milik, tidak lagi perlu ditempuh tata cara permohonan hak
baru berupa Hak Guna Bangunan, yang diawali dengan cara pelepasan Hak Milik
tersebut oleh pemiliknya, yang memerlukan waktu dan biaya.
Dalam bidang usaha real estate, agar dalam rangka masuknya peningkatan
modal dan investasi dari luar, dimungkinkan perusahaan-perusahaan asing dan
orang-orang asing menguasai tanah dengan hak-hak atas tanah yang menurut
ketentuan Hukum Tanah Nasional sekarang hanya dapat dipunyai oleh
perusahaan-perusahaan Indonesia dan WNI.
Dalamrangka meningkatkan penanaman modal dibuka kemungkinan pemberian Hak
Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan, yang dalam ketentuan peraturannya dibatasi
30-35 tahun, dengan kemungkinan diperpanjang maksimal 20-25 tahun, pada
pemberiannya untuk pertama kali ditetapkan selama sekitar 25-30 tahun, tetapi
sekaligus disertai jaminan, bahwa pada waktunya akan diperpanjang jangka waktu
berlakunya, diikuti denga pemberian hak baru, hingga akan terjamin penguasaan
tanahnya untuk HGU selama 120 tahun dan untuk HGB 100 tahun.
Rus globalisasi tidak mungkin dicegah, antisipasinya adalah tersedianya
perangkat hokum yang pada satu pihak dapat menciptakan situasi yang
memungkinkan dimanfatkannya kelebihan pihak asing tersebut bagi peningkatan
kemakmuran dan kesejahteraan bangsa.
Pada pihak
lain dapat member perlindungan kepada rakyat banyak, terutama para petani
sebagai golongan terbesar rakyat Indonesia yang pada realitanya
kedudukannya masih lemah, terutama dalam menghadapi pihak luar.
D.Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional Dalam
Rangka Mendukung Keberhasilan Kebijakan desentralisasi atau Pemberian Otonomi
kepada Daerah
a.
Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional diperuntukkan untuk
mendukung otonomi daerah. Terkait dengan Otda sesuai dengan pasal 2 UUPA bahwa
“Hak menguasai dari Negara pelaksanannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah
swatantra dan masyarakat-masyarakat hokum adat”.
Dalam Penjelasan dinyatakan bahwa “ketentuan tersebut adalah bersangkutan
dengan asas otonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah”.
Soal agraria menurut sifatnya dan pada asasnya merupakan tugas pemerintah
pusat (pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Dengan demikian maka pelimpahan wewenang
untuk melaksanakan Hak Penguasaan Negara atas tanah itu adalah merupakan
medebewind”.
b.
Masalh
pelaksanaan kebijakan otonomi atau dengan sentralisasi di bidang
agrarian dalam Tap MPR/IX/MPR/2001 yaitu “mengupayakan keseimbangan hak dan
kewajiban Negara, pemerintah (pusat, daerah propinsi, kabupaten/kota, dan desa
atau yang setingkat), masyarakat dan individu. Melaksanakan desentralisasi
berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah propinsi,
kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat “berkaitan dengan alokasi dan
pengelolaan sumber daya agrarian/sumber daya alam”. Dan ini tetap dalam rangka
“memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
E. Tanah Sebagai Sumber Daya Alam Utama
Dalam TAP MPR IX/MPR/2001
Tanah
sebagai sumber daya alam utama dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
. Dalam TAP MPR IX/MPR/2001, “tanah” disejajarkan dengan sumber daya alam
lainnya. Sebenarnya sifat sumber daya alam yang berupa tanah dan sumber daya
alam lainnya adalah berbeda. Semua rakyat memerlukan tanah, Tanah terdapat
dalam seluruh wilayah RI, dan tanah berfungsi langsung dalam mewujudkan
masyarakat adil makmur.
Oleh karena itu sumber daya alam tanah disebutkan bersamaan dengan sumber
daya air, dan ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Oleh karena itu penyempurnaan UUPA sebaiknya menggunakan “Undang-undang tentang
Pokok-pokok Hukum Tanah”
Kebijakan “pembaruan” dan” pengelolaan” ditetapkan dalam satu Ketetapan.
Padahal sifat dan lingkup kegiatan serta tujuannya berbeda seperti yang tampak
pada rumusan cakupan pengertia “pembaruan agraria” dan “pengelolaan sumber daya
alam”, dalam pasal 2 dan 3. Maka prinsip-prinsip bagi pembaruan agrarian dan
pengelolaan sumber daya alam yang dirumuskan bersamaan satu pasal, yaitu pasal
4 menjadi tumpang tindih. Hal ini masalahnya memang berbeda, dalam pasal 5
penetapan arah kebijakannya dipisahkan masing-masing dalam ayat 1 dan ayat 2.
BAB V
PENGADAAN TANAH OLEH NEGARA UNTUK
KEPENTINGAN UMUM
A.
Para Pihak Dalam Pengadan Tanah oleh Negara Untuk
Kepentingan Umum
1.
Dalam pasal 1 Perpres No. 65 tahun2006 yang dimaksud
“pengadaan tanah” adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan,
tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah”.
Pasl 2 ayat 1 menyatakan: “Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan
dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah”.
Pasal 2 ayat 2 Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara
jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh
pihak-pihak yang bersangkutan”
Dalam Peraturan Kep BPN tentang Pelaksanaan Perpres No 36 tahun 2005 yang
dirubah dengan Perpres 65 tahun 2006 dalam Bab I disebutkan:
1.
Instansi Pemerintah adalh Lembaga Negara, Departemen,
Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Propinsi atau Pemerintah
Kabupaten/Kota.
2.
Pemilik adalah pemegang hak atas tanah, dan/atau
pemilik bangunan, dan/atau pemilik tanaman, dan/atau pemilik benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah
3.
Lembaga Penilai Harga Tanah adalah lembaga professional
dan independen yang mempunyai keahlian dan kemampuan di bidang penilaian harga
tanah.
4.
Tim Penilai Harga Tanah adalh tim yang di bentuk dengan
Keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur untu Wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta untuk menilai harga tanah, apabila di wilayah kabupaten/kota yang
bersangkutan atau sekitarnya tidak terdapat Lembaga Peniali Harga Tanah.
2.
Perencanaan
Untuk memperoleh tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum, instansi pemerintah yang memerlukan tanah menyusun proposal rencana
pembangunan paling lambat 1 (satu) tahun sebelumnya, yang menguraikan:
a.
maksud dan tujuan pembangunan
b.
letak dan lokasi pembangunan
c.
luasan tanah yang diperlukan
d.
sumber pendanaan
e.
analisis kelayakan lingkungan perencanaan pembangunan,
termasuk dampak pembangunan berikut upaya pencegahan dan pengendaliannya.
B.Tata Cara Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembanguna Untuk Kepentingan Umum.
1.
Untuk mengetahui hal ini perlu dibedakan antara:
1.
Pengadaan tanah yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar
2.
Pengadaan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu)
hektar
1.
Pengadaan tanah yang luasnya Lebih dari 1 (satu) hektar
Pertama-tama sesuai dengan pasal 15 Perpres 36 tahun 2005 dan diubah
dengan Perpres 65 tahun 2006, maka dibentuk Panitia Pengadaan Tanah
Kabupaten/Kota paling banyak 9 orang dengan susunan sebagai berikut:
a.
Memberikan penjelasan dan penyuluhan kepada masyarakat
b.
Mengadakan penelitian dan inventarisasi tanah,
bangunan, tanaman
c.
Mengadakan penelitian status hokum tanah
d.
Mengumumkan hasil penelitian
e.
Menerima hasil penilaian harga tanah dan/atau bangunan,
tanaman dari Lembaga dari Tim Penilai Harga Tanah
f.
Mengadakan musyawarah dengan pemilik tanah dan instansi
pemerintah yang memerlukan tanah untuk dalam menetapkan bentuk dan/atau
besarnya ganti rugi
g.
Menetapkan besarnya ganti rugi
h.
Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi
i.
Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak
j.
Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas
pengadaan tanah dan menyerahkan kepada instansi pemerintah yang memerlukan
tanah dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan
k.
Menyampaikan permasalahan disertai pertimbangan
penyelesaian pengadaan tanah kepada Bupati/Walikota, apabila musyawarahtidak
tercapai kesepakatan untuk pengambilan keputusan
2.
Penunjukan Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah
Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota menunnjuk Lembaga Penilai Harga
Tanah yang telah ditetapka oleh Bupati/Walikota, dan lembga ini harus sudah
mendapat lisensi dari BPN RI.Sedangkan keanggotaan Tim Penilai Harga Tanah
adalaH:
-unsur instansi yang membidangi bangunan dan/atau tanaman
-unsur instansi pemerintah pusat yang membidangi pertanahan nasional
-unsur instansi Pelayana Pajak Bumi dan Bangunan
-ahli atau orang yang berpengalaman sebagai penilai harga tanah
-akademisi yang mampu menilai harga tanah dan/atau banguna dan/atau
tanaman dan/atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Hal ini bias ditambah
dari unsure Lembaga Swadaya Masyarakat )LSM).
2. Pengadaan
tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar
Pengadaan tanah yang luas tanahnya tidak lebih dari 1 hektar dilaksanakan
secara langsung melalui jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang
disepakati para pihak tanpa bantuan Panitia Pengadaan Tanah tingkat
Kabuparten/Kota atau dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah tingkat
Kabupaten/Kota. Dan untuk tanah yang sudah bersertifikat cukup dengan
pelepasan/penyerahan hak atas tanah dengan membuat pernyataan pelepasan hak
bahwa tanah digunakan untuk instansi pemerintah yang membutuhkan tanah. Dan
instansi pemeri ntah memberikan ganti rugi.Pelaksanaanya bias di hadapan Kepala
BPN Kota /Kabupaten, PPAT, Camat.
C. Prosedur Ganti Rugi dalam Pengadaan
Tanah untuk Kepentingan Umum Oleh Instansi Pemerintah dan Upaya Hukum
Pemilik tanah yang keberatan terhadap keputusan penetapan bentuk dan/atau
besarnya ganti rugi yang diterbitkan oleh Panitia Pengadaan Tanah tingkat
Kabupaten/Kota, dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota disertai
dengan penjelasan-penjelasan dan sebab-sebab serta alasan keberatannya paling
lambat 14 hari. Selanjutya Bupati/Walikota paling lama 30 hari sesuai dengan
kewenangannya harus memberiakan putusan. Bentuk keputusa Bupati/Walikota dapat
mengukuhkan, atau merubah bentuk dan/atau besarnya ganti rugi. Apabial upaya
penyelesaian yang ditempuh Bupati/Walikota tetap tidak diterima oleh pemilik
dan lokasi pembangunan tidak bias dipindahkan, maka Bupati/Walikota sesuai
dengan kewenangannya mengajukan usul penyelesaian dengan cara Pencabutan Hak
Atas Tanah berdasarkan UU No. 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas
Tanah dan Benda –benda yang Ada di Atasnya.
3.
Penitipan Ganti Rugi
Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota memerintahkan kepada instansi
pemerintah yang memerlukan tanah kepada Pengadilan Negeri bila:
a.
Yang berhak atas ganti rugi tidak diketahui
keberadaannya
b.
Tanah, bangunan,dll sedang menjadi obyek perkara di
pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hokum tetap
c.
Masih dipersengketakan kepemilikannya
d.
Tanah, bangunan dll sedang diletakkan sita oleh pihak
yang berwenang
BAB VI
PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH
Senketa dalam
hak atas tanah adalah:
1.
keabsahan suatu hak atas tanah
2.
pemberian hak atas tanah
3.
pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan
penerbitan tanda bukti haknya
Senketa dalam
hak atas tanah dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
A.
Senketa pertanahan yang Bersifat Politis
Sengketa
pertanahan yang bersifat politis dicirikan:
-
melibatkan masyarakat banyak
-
menimbulkan keresahan dan kerawanan masyarakat
-
menimbulkan ketidakpercayaan kepada pemerintah/penyelenggara
Negara
-
mengganggu penyelenggaraan pembanguna nasional, serta
menimbulkan bahaya disintegrasi bangsa
Pada umumnya
sengketa pertanahan yang bersifat politis tidak didasarkan pada alasan yuridis,
melainkan cenderung memanfaatkan isu populis sehingga terbentuk opini
masyarakat, yang bermuara terjadi ketidakpercayaan masyarakat terhadap
pemerintah. Keadaan demikian selanjutnya akan mengganggu social, ekonomi,
maupun keamanan.
Senketa yang
bersifat politis disebabkan:
-
Ekploitasi dan dramatisasi ketimpangan-ketimpangan
keadaan penguasaan dan pemilikan tanah didalam masyarakat
-
Tuntutan keadilan dan keberpihakan pada golongan
ekonomi lemah
-
Sedangkan bentuknya dapat dilakukan dengan:
-
Unjuk rasa
-
Penekanan-penekanan kepada institusi pemerintah, ini
dapat dialkukan dengan:
-
Menyalurkan aspirasi masyarakat melalui LSM,DPR, Komnas
HAM, Komisi Ombudsman dan lembaga peradilan.
Bentuk-bentuk
senketa pertanahan yang bersifat strategis antara lain:
-
Tuntutan pengembalian hak (reclaiming action)
-
Tuntutan pengembalian tanah garapan yang kini dikuasia
pihak lain
-
Penyerobotan tanah-tanah perkebunan
-
Pendudukan tanah-tanah asset instansi pemerintah
-
Tuntutan pemberian hak atas tanah bekas tanah
partikelir yang diduduki rakyat
-
Tuntutan pengembalian tanah sebagai akibat pembebasan
tanah untuk pembangunan di masa lalu
-
Tuntutan tanah masyarakat hokum adat atas tanah hak
ulayat di wilayahnya
-
Tuntutan pengembalian tanah yang dikuasai rakyat dalam
skala besar yang diambil alih pihak tertentu
-
Tuntutan redistribusi tanah yang terkena obyek
Landreform
-
Tuntutan pengembalian tanah yang penggunaanaya tidak
sesuai denga ijin lokasi
-
Masalh tanah milik organisasi terlarang dll
B. Sengketa Pertanahan yang Beraspek
social-ekonomi
Masalh ini
timbul sebagai akibat ketimpangan dan kecemburuan social dalam pemilikan tanah
antara masyarakat denga pemilik tanah luas (perusahaan).Hal ini bias terjadi
penyerobotan tanah yang bukan miliknya. Faktor pendoronya adalah pemilik tanah
tidak memperhatikan kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan,
umpamanya:
-
Mengusahakan tanahnya secara aktif
-
Menambah kesuburan dan mencegah kerusakan tanahnya
-
Menjaga batas-batas tanah
-
Mengusahakan tanahnya sesuai dengan peruntukannya.
Sebagai akibat tidak dipenuhinya peraturan-peraturan tersebut diatas
menyebabkan sengketa pertanahan antara pemilik tanah dengan pihak-pihak yang
menguasai secara tidak berhak tersebut.
Penyebab yang lain adalah, kurang adanya pemertaan penguasaan dan
pemilikan tanah dan kurang tersedianya lapangan kerja.
C. Sengketa
Pertanahan Yang Bersiafat Keperdataan
Sengketa ini berkaitan dengan hak-hak keperdataan baik subyek maupun
pihak lain yang berkepentingan terhadap obyek haknya (tanah). Yang menjadi
pokok persoalan adalah berkaitan denga kepastian hokum atas tanahnya.
Perlu diketahui bahwa proses penetapan suatu hak atas tanah, termasuk
penerbitan dan keputusan dan sertifikatnya tergantung data fisik, yuridis, dan
pengadministrasiannya. Bila ini mengandung kelemahan maka, kualitas kepastian
hokum mengeani hak atas tanah mengandung kelemahan juga, yang berimplikasi
suatu saat dapat dibatalkan apabila terbukti cacat administrasi atau cacat
hokum.
Sistem
publikasi dalam pendaftaran tanh adala menganut stelsel negative, ini tidak
memberikan jaminan kepastian hokum secara mutlak. Kepastian hokum dicapai bila
data fisik, data yuridis dan administrasi sesuai dengan realita dilapangan,
bila ini tidak dicapai maka, hak atas tanag dimungkinkan untuk dibatalakan.
D. Sengketa Pertanahan Yang Bersifat
Administrasi
Sengketa
Pertanahan yang bersifat administrasi disebabkan adanya kesalahan penetapan hak
dan pendaftarannya. Hal ini disebabkan:
-
Kekeliruan penerapan peraturan
-
Kekeliruan penetapan subyek hak
-
Kekeliruan penetapan obyek hak
-
Kekeliruan penetapan status hak
-
Masalh prioritas penerima hak atas tanah
-
Kekeliruan penetapan letak, luas dan batas,
-
Dll
Kekelirua-kekeliruan
diatas biasanya disebabkan kekurangcermatan penetapan hak oleh pejabat
administrasi (BPN). Upaya penyelesainnya adalah:
-
Dilakukan secara administrasi pula
-
Bentuknya adalah, pembatalan, ralat atau perbaikan
-
Melalui pengadilan
Pada
hakekatnya konflik pertanahan tersebut disebabkan:
a.
Administrasi pertanahan di masa lalu yang kurang tertib
b.
Peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih
bahkan saling bertentangan
c.
Penerapan hokum pertanahanyang kurang konsisten
d.
Penegakan hokum yang belum dapat dilaksanakan secara
konsisten.
E.Penyelesaian Tanah absente
Dalam kaitannya dengan penyelesaian tanah absente ada Peraturan Pengganti
Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahhun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
Dalam
PEnjelasan Umum dijelaskan supaya tidak merugikan kepentingan umum pemilikan
dan penguasaan tanah dibatasi. Dalm UU No. 56 Prp 1960 ditentukan:
Di
daerah-daerah yang
|
Sawah(hektar)
|
Tanah
Kering (hektar)
|
Tidak padat
Padat
a.kurang padat
b.cukup
padat
c.sangat
padat
|
15
10
7,5
5
|
20
12
9
6
|
Bagi tanah-tanah yang melebihi yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undanga maka jumlah kelebihan itu akan diambil oleh pemerintah dengan
ganti rugi, yang selanjutnya tanah tersebut nantinya akan dibagi kepada petani
sebagai upaya Landreform.
Sedangkan
luas minimum adalah 2 hektar untuk tanah pertanian, baik sawah maupun tanah
kering.
Disamping itu ada Perubahan dan
Tambahan Pertauran Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Rugi.
Dalm
Penjelasa Umum disebutkan, prinsip bahwa setiap orang atau Badan Hukum yang
mempunyai hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemesan.
Dalam PP 224 tahun 1961 ditentukan “pemilik tanah pertanian yang
berpindah tempat diluar kecamatan tempat letak tanah, selama 2 tahun dan ia melaporkannya, maka dalam waktu 1
tahun terhitung sejak berakhirnya jangka waktu tersebut, diwajibkan memindahkan
hak milik atas tanah kepada orang lain yang bertempat tinggal dalam 1 kecamatan
letak tanah itu.
Pasal 3d disebutkan “Dilarang untuk melakukan semua bentuk pemindahan hak
baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan
memiliki bidang tanah di luar Kecamatan dimana ia bertempat tinggal”.
BAB VII
MEDIASI SENGKETA PERTANAHAN/ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (ADR)
A.
Keberadaan Mediasi dengan Penyelesaian Sengketa
Alternatif/ADR (Alternative Dispute Resolution)
Mediasi adalah salah satu proses alternative penyelesaian masalah dengan
bantuan pihak ketiga (mediator) dan prosedur yang disepakati oleh para pihak
dimana mediator memfasilitasi untuk dapat tercapai suatu solusi (perdamaian)
yang saling menguntungkan para pihak.
Mediator adalah orang/pejabat yang ditunjuk jajaran BPN RI yang
disepakati oleh para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan
permasalahannya.
Kasus-kasus yang menyangkut sengketa tanah tidak pernah surut.Bahkan
mempunyai kecenderungan yang semakin meningkat, baik kompleksitas
permasalahannya maupun kuantitas seiring dinamika di bidang ekonomi, social dan
politik.
Dampak semakinmemburuknya situasi ekonomi mendorong kasus-kasus
pendudukan tanah oleh masyarakat untuk ditanami pangan, misalnya yang terjadi
di lapangan golf Cibodas, sebagai kawasan berjualan di tanah kosong PT
Bogasari, di jalan Raya Ciledug, tangerang adalh sebagai gambaran bibit-bibit
sengketa pertanahan.
Tipologi kasus-kasus di bidang pertanahan dapat dibagi menjadi:
Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah
perkebunan, kehutanan dan lain-lain
Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan Landreform
Kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk
pembangunan
Sengketa perdata berkenaan dengan masalh tanah
Sengketa berkenaan denga tanah ulayat.
Terhadap kasus-kasus penggarapan rakyat atas tanah perkebunan, kehutanan
dan lain-lain, berdasarkan pengalaman, tampaknya penyelesaian yang lebih
efektif adalh melaui jalur nonperadilan yang pada umumnya ditempuh melaui
cara-cara perundingan yang dipimpin atau diprakarsai oleh pihak ketiga yang
netral atau tidak memihak.
Pilihan penyelesaian sengketa melalui cara perundingan/mediasi mempunyai
kelebihan bila dibandingkan penyelesaian melalui pengadilan, yang tidak menarik
dari se gi waktu, biaya, pkiran, tenaga. Disamping itu kepercayaan kemandirian
lembaga peradilan dan kendala administrative yang melingkupinya, membuat
pengadilan adalh sebagai upaya terakhir untuk penyelesaian sengketa.
Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan persamaan kedudukan dan
upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama
tanpa tekanan atau paksaan. Jadi dengan penyelesaian win-win solution. Upaya
untuk mencapai win-win solution ditentukan menurut Bevan, 1992:3-4 diantaranya:
Proses pendekatan yang obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat
diterima oleh pihak-pihak dan memberikan hasil yang saling menguntungkan,
dengan catatan, pendekatan itu harus menitikberatkan pada kepentingan yang
menjadi sumber konflik dan bukan pada posisi atau kedudukan para pihak .
Kemampuan yang seimbang dalam proses negosiasi atau musyawarah. Perbedaan
kemampuan tawar-menawar akan menyebabkan adanya penekanan oleh pihak yang satu
terhadap yang lainnya.
Penyelesaian sengketa melalui ADR secara implicit dimuat dalam Perpres
No. 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional(BPN). Dalam struktur
organisasi BPN, dibentuk satu kedeputian, yakni Deputi Bidang Pengkajian dan
Penanganan Sengketadan Konflik Pertanahan.BPN telah pula menerbitkan Petunjuk
Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan melaui Keputusan Kep BPN
RI No. 34 tahun 2007.Dalam menjalankan tugasnya menangani senketa pertanahan
BPN melakukan upaya antara lain melaui mediasi. Selanjutnya dikeluarkan peraturan
yaitu Petunjuk Teknis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
05/JUKNIS/D.V/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi.
B.
Peranan ADR dalam Konflik Pertanahan
Dalam perjalanan waktu upaya untuk melembagakan kembali cara penyelesaian
sengketa alternative seperti mediasi, konsiliasi, dan lain-lain dengan
memasukkannya dalam peraturan perundang-undangan. Pelembagaan kembali cara
penyelesaian sengketa alternative sanga tergantung pada factor budaya.
Perbedaan kondsi sosisl budaya menyebabkan perbedaan terhadap proses penataan
dan penggunaan serta penguatan cara-cara tersebut.
Didaerah-daerah tertentu missal di Sumatera Barat yang masih
mempertahankan tradisi sejak dahulu, penggunaan penyelesaian sengketa
alternative telah diperkuat melaui peraturan daerah dengan menekankan bahwa
setiap sengketa di bidang pertanahan hendaknya diselesaikan terlebih dahulu
melaui Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebelum diajukan ke lembaga penyelesaian
sengketa yang lain seperti pengadilan. TEtapi didaerah lain yang kelekatan
tradisinya sudah mulai menurun, penggunaan ADR lebih bersifat pilihan, yaitu
tergantung kemauan dari pihak yang bersengketa.
Tipe Mediator adalah:
Mediator Jaring Sosial (Social Network Mediator)
Tokoh-tokoh masyarakat/informal missal: ulama, atau tokoh agama, tokoh
adat, tokoh pemuda dll
Biasanya mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat
Penyelesaian sengketa didasari nilai-nilai social yang berlaku: nilai
keagamaan/religi, adat kebiasaan, sopan santun, moral dll.
Mediator sebagai Pejabat yang berwenang (Authoritative Mediator)
Tu=okoh formal missal: pejabat-pejabat yang mempunyai kompetensi di
bidang sengketa yang ditangani
Disyaratkan orang yang mempunyai pengetahuan dengan sengketa yang
ditangani
Mediator Independen (Independent Mediator)
Mediator professional, orang yang berprofesi sebagai mediator, mempunyai
legitimasi untuk melakukan negosiasi-negosiasi dalam mediasi
Konsultan Hukum, pengacara, Arbiter
Mekanisme mediasi dilakukan dengan:
Persiapan mempertemukan kedua belah pihak
Undangan
Kegiatan mediasi
Menyamakan pemahaman dan menetapkan agenda
Identifikasi kepentingan
Generalisasi Opsi-opsi pihak
Penentuan opsi yang dipilih
Negosiasi akhir
C.
Keputusan Penyelesaian sengketa Pertanahan melaui ADR
Setelah melalui beberapa mekanisme diatas, maka pada point kedelapan
yaitu Negosiasi Akhir, yaitu:
Hasil dari tahap ini adalah putusan penyelesaian sengketa yang merupakan
kesepakatan para pihak yang bersengketa, kesepakatan tersebut pada pokoknya
berisi opsi yang diterima, hak dan kewajiban para pihak.
Klarifikasi kesepakatan kepada para pihak
Penegasan / klarifikasi ini diperlukan agar para pihak tidak ragu-ragu lagi
akan dipilihnya untuk menyelesaikan sengketa tersebut dan sukarela
melaksanakannya
Formalisasi kesepakatan penyelesaian sengketa
Dirumuskan dalam bentuk kesepakatan atau agreement /perjanjian
DEngan kesepakatan tersebut secara substansi mediasi telah selesai,
sementara tindak lanjut pelaksanaanya menjadi kewenangan pejabat Tata Usaha
Negara (TUN)
Setiap kegiatan mediasi hendaknya dituangkan dalam Berita Acara Mediasi
Hasil mediasi dilaporkan kepada pejabat yang berwenang untuk ditindak
lanjuti sesuai peraturan yang berlaku
Formalisasi kesepakatan secara tertulis dengan menggunakan format
perjanjian
Dalam setiap mediasi perlu dibuat laporan hasil mediasi yang berlangsung
Agar mempunyai kekuatan mengikat berita acara tersebut ditandatangani
oleh para pihak dan mediator
D.
Kasus-kasus Sengketa Melaui ADR
1.
Penerapan ADR dibidang Pertanahan Di Berbagai Daerah
1.
Pengelolaan Konflik Pertanahan Di Sumatera Barat
Sumatera Barat menjadi cotoh yang tipikal terkait penyelesaian sengketa
dengan menggunakan ADR. Di Sumatera Barat prosesnya sudah terlembagakan yaitu
adanya Kerapatan Adat Nagari (KAN), yang diperkuat oleh Perda. Tetapi ada juga
pennyelesaian sengketa melui KAN dan diluar KAN
Gambaran persoalan yang menjadi sumber konflik/sengketa adalh sbb:
Tanah Kaum (Hak Milik Komunal) telah diberikan kepada anggotanya, yaiyu
seorang kemenakan, Tanah tersebut kemudian dijual oleh pihak kemenakan kepada
orang lain. Hasil penjualan seluruhnya diambil oleh kemenakan tersebut, padahal
menurut Mamak Kepala Warisnya ,
ia berhak memperoleh sebagian
dari hasil penjualan tersebut. Ketika jual beli tanah tersebut diproses
pensertifikatannya, Mamak Kepala Waris mengajukan permohonan kepada BPN
setempet untuk menghentikan proses sertifikasi sampai ada penyelesaian hak-hak
Mamak Kepala Waris.
Sengketa antara pemilik tanah yang sedang digadaikan denga pemegang Hak
Gadai atas tanah tersebut. Sengketa terjadi karena, tanah yang sedang dibebani
Hak Gadai dijula kepada orang lain. Menurut ketentuan hokum adat, tanah yang
dibebani Hak Gadai berada dibawah kekuasaan pemegang Hak Gadai. Karena
penjualan tersebut tidak diberitahukan kepada pemegang Hak Gadai, maka ketika
jual beli didaftarkan, pemegang Hak Gadai mengajukan keberatan dan menuntut
agar prosesnya dihentikan sampai utang yang dijamin dengan tanah dilunasi.
2.
Penerapan ADR dalam sengketa pertahan di Lampung
Sengketa pertanahandi Lamung didominasi sengketa yang bersifat vertiakl
disbanding horizontal. Sengketa vertical terjadi antara masyarakat disatu pihak
denga pemerintah dipihak lain. Konflik pertanahan secara vertiakl disebabkan:
Sengketa dipicu denga kebijakan pertanahan yang mengandung potensi
berkembangnya konflik. Misal sengketa warga dengan PT Dharmala Hutan Lestari.
Di tingkat daerah warga diberi ijin penggarapan atas tanah yang disengketakan.
Di tingkat pusat, diambil kebijakan memberikan tanah yang digarap masyarakat
kepada PT tersebut.
Kebijakan pertanahan yang kurang memperhatikan aspek pemerataan dan
keadilan, missal dalam obyek tanah Landreform yang seharusnya tidak berhak
menerima , menjadi menerima tanah.
Adanya fenomeba intensifnya keterlibatan pemerintah yang bersaing dengan
masyarakat, untuk menguasai tanah yang bersangkutan. Misal sengketa tanah eks
perkebunan Way Ratay antara Korem dan warga.
Terjadinya tumpang tindih pemilikan tanah sengketa, disebabkan terjadinya
pemilikan tanah oleh dua pihak dalam kurun waktu yang berbeda dan terjadi
tumpang tindih kepemilikan karena perbedaan dalam sertifiakat dengan tanah yang
secara fisik dikuasainya.
BAB VIII
PENATAGUNAAN TANAH
A.
Penatagunaan Tanah
Dasar peraturan yaitu dalam Perpres RI No. 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah.
Yang dimaksud dengan penatagunaan tanah adalah sama dengan pola
pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui
pengaturan kelembagaan yang terkait engan pemanfaatan tanah sebagai satu
kesatuan system untuk kepentingan masyarakat secara adil.
Asas dan tujuan penatagunaan tanah adalah keterpaduan, berdayaguna, dan
berhasilguna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan,
keadilan dan perlindungan hokum.
Pokok-pokok penatagunaan tanah yaitu:
Dalam rangka pemanfatan ruang dikembangkan penatagunaan tanah yang
disebut juga pola pengelolaan tata guna tanah
Penataan tanah meruopakan kegiatan di bidang pertanahan di kawasan
lindung dan kawasan budidaya.
Penatagunaan tanah diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota.
Penatagunaan tanah diselenggarakan sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
Kebijakan penatagunaan tanah diselenggarakan terhadap:
bidang tanah yang sudah haknya baik yang sudah atau belum terdaftar
tanah Negara yaitu tanah yang langsung dikuasai oleh Negara yang bukan
tanah ulayat
tanah ulayat masyarakat hokum adapt sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Terhadap hal-hal diatas maka penggunaan serta pemanfatannya harus sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
B.
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Penertban dan pendayagunaan tanah terlantar diatur dalam Perpres RI No.
36 tahun 1998. Hal ini perlu dialkukan mengingat:
bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungus social, maka setiap orang dan
badan hokum atau instansi yang berhubungan hokum dengan tanah, wajib
menggunakan tanahnya dengan memelihara tanah, menambah kesuburannya, mencegah
terjadinya kerusakan sehingga lebih berdaya guan dan bermanfaat bagi masyarakat
dalam kenyataannya, masih terdapat bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh
perorangan, badan hokum atau instansi yang tidak digunakan sesuai dengan
keadannya atau sifat dan tujuan haknya
Hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya diterlantarkan
sesuai denag UUPA
Terkai denga penertban dan pendayagunaan tanah terlantar maka ada
beberapoa ketentuan berdasar UUPA bahwa:
Pasal 15 UUPA, bahwa, memelihara tanah adalah kewajiban tiap-tiap orang,
badan hokum atau insatansi yang mempunyai hubungan hokum dengan tanah
Pasal 27 UUPA, Hak milik hapus bila tanahnya jatuh kepada Negara karena
diterlantarkan
Pasal 34 UUPA, Hak Guna Usaha hapus karena diterlantarkan
Pasal 40 UUPA, Hak Guna Banguna
hapus karena diterlantarkan.
Arti tanah diterlantarkan yang menjadi kriterianya tidak secara tegas disebutkan dalam UUPA.
Dalam Penjelasan pasal 27 UUPA disebutkan “tanah diterlantarkan kalau dengan
sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadannya atau sifat dan tujuan
daripada haknya”.Kekurang jelaskan ini menyebabkan ketentuan mengenai hal ini
sulit doterapkan.
Penyebab tanah terlantar bermacam-macam, hal ini tidak bias disalhkan
kepada salah satu pihak saja , yaitu pemegang haknya atau pihak yang mempunyai
hubungan hokum dengan tanah. Keadan kemampuan pemegang hak bermacam-macam. Oleh
karena itu pemerintah menerapakan
Untuk pemegang hak yang tidak dapat menggunakan tanahnya sesuai ketentuan
yang berlaku karena tidak mempunyai kemampuan ekonomi, maka tanahnya tidak akan
dinyatakan sebagai tanah terlantar, melainkan akan dibantu untuk pendayagunaan
tanah itu.
Untuk ketegasan mengenai kapan sebidang tanah menjadi tanah terlantar,
maka diperlukan pernyataan tertulis dari Menteri atau atas nama Menterimbahwa
sebidang tanah telah terlantar
Kepada pemegang hak atau pihak yang mempunyai hubungan hokum denga tanah
diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk menggunakan tanah tersebut
sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk menghindarkan tanahnya dinyatakan
sebagai tanah terlantar.
Izin Lokasi
Peraturan tentan izin lokasi diatur dalam PMA/Kep BPN Nomor 2 Tahun 1999
tentang Izin Lokasi. Hali dilakukan denga pertimbangan bahwa :
Dalam rangka penanaman modal terkait denga perusahaan untuk memperoleh
tanah yang diperlukan untuk melaksanakan penanaman modalnya maka perlu izin
lokasi
Pemberian izin lokasi merupakan pengarahan lokasi penanaman modal sebagai
pelaksanaan rencana pananaman modalnya.
Pemberian izin lokasi ini, diperluas sehinggga tidak terbata pada
penanaman modal saja
Arti Izin Lokasi adalah sesiau pasal 1 PMA tersebut diatas adalah, izin
yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam
rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk
menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya.
Tanah yang dapat ditunjuk dengan izil lokasi adalah, tanah yang menurut
Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang
sesuai dengan rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan pleh perusahaan
menurut persetujuan penanaman yang dipunyainya.
Jangka waktu izin lokasi:
Izin lokasi seluas sampai dengan 25 ha: 1 tahun
Izin lokasi seluas lebih dari 25 ha s/d 50 ha: 2 tahun
Izin lokasi seluas lebih dari 50 ha: 3 tahun
Hak dan kewajiban pemegang izin lokasi:
Pemegang izin lokasi dizinkan membebaskan tanah dalam areal izin lokasi
dari hak dan kepentingan pihak lain berdasar kesepakatan dengan pemegang hak
dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah atau cara
lain sesuai peraturan
Sebelum tanah yang bersangkutan dibebaskan oleh pemegang izin lokasi,
sesuai hak dan kepentingan pihak lainyang sudah atas tanah yang bersangkutan
tidak berkurang dan tetap diakui.
Pemegang izil lokasi wajib menghormati kepentingan pihak lain atas tanah
yang dibebaskan
Sesudah tanah yang bersangkutan dibebaskan dari hak dan kepentingan lain,
maka kepada pemegang izin lokasi dapar diberikan hak atas tanah yang memberikan
kewenangan kepadanya untuk menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keperluan
untuk melaksanakan rencana penanaman modalnya.
Pemanfatan Tanah Kosong Untuk Tanaman Pangan
Pemanfatan tanah kosong untuk tanaman pangan diatur dalam PMA/Kep BPN
Nomor 3 tahun 1998 tentang Pemanfaatan Tanah Kosong Untuk Tanaman Pangan.
Pemanfatan tanah kosong untuk tanaman pangan perlu dilakukan dengan
pertimbangan:
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi social, maka setiap orang, badan
hokum, atau instansi yang mempunyai hubungan hokum dengan tanah wajib
menggunakan tanahnya sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta
bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat
Banyak bidang-bidang tanah yang sementara menunggu digunakan sesuai
dengan sifat dan tujuan haknya atau Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku,
dibiarkan kosong, sehingga tidak memberikan manfaat bagi masyarakat
Dalam rangka memelihara pertahanan pangan nasional perlu menetapkan
kewajiban setiap pemegang hak atas tanah untuk memanfatkan tanah kosong
Maksud tanah kosong:
a.
Tnah kosong adalah:
b.
Tanah yang dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Banguna dan Hak Pakai
c.
tanah Hak Pengelolaan
d.
tanah yang sudah diperoleh dasar penguasaannya, tetapi
belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang –
undangan yang berlaku.
Pemegang hak atas tanah yang dimaksud adalah:
perorangan atu badan hokum yang menjadi pemeganh hak atas tanah
perorangan atau badan hokum yang telah memperoleh penguasaan atas tanah,
akan tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Instansi pemerintah, Pemda, atau badan lain yang diberi pelimpahan
kewenangan pelaksanaan sebagian hak menguasai dari Negara atas tanah Negara
dengan pemberian hak pengelolaan.
BAB IX
TANAH, HAK ASASI MANUSIA
DAN KEADILAN
A.
Makna Keadilan
Makna keadilan seperi yang dijelaskan oleh Aristoreles, dan juga konsep keadilan (social) yang tercantum dalam sila ke 5 Pancasila
serta oleh para pemikir sebelumnya, memang tidak mudah untuk dipahami, terlebih
bila harus berhadapan pada kasus yang kongkret.
Bagi Indonesia
kiranya dengan falsafah Pancasila, maka paling tepat kiranya untuk
mengimplementasikan asas keadilan social. Makna keadilan itu sendiri bersifat
universal, jauh di dalam lubuk setiap orang, ada kesepakatan tentang sesuatu
yang dipandang sebagai adil dan tidak adil itu.
Dalam pengertian keadilan, secara umum diberikan pengertiansebagai
keadilan “membagi” atau distributive justice , yang secara sederhana
menyatakan, bahwa kepada setiap orang diberikan bagian atau haknya sesuai
dengan kemampuan atau jasa dan kebutuhan masing-masing. Perlu dipahami,
keadilan bukanlah hal yang statis, tetapi merupakan proses yang dinamis dan
selalu bergerak diantara berbagai factor, termasuk equality atau persamaan hak
itu sendiri.
Dalam realitanya, setiap orang berbeda dalam hal kemampuan dan kebutuhannya
bila dibandingkan orang lain. Dalam situasi dimana orang lebih banyak
membutuhkan sesuatu, namun kemampuan untuk memperolehnya kurang, maka perlakuan
yang sama justru akan menimbulkan ketidakadialn. Perkecualian ini mendapat
perlakuan yang khusus dapat dialkukan, asalkan dapat dipertanggungjawabkan. Hal
inilah disebut corrective justice atau positive discrimination.
Tidak mudan untuk menentukan pilihan antara memutuskan sesuatu yang
secara formal memenuhu syarat, namun tidak memenuhi syarat keadilan secara
substansian, atau mengutamakan terpenuhinya keadilan secara substansial namun
secara formal tidak memenuhi syarat.
B.
Tanah dan Hak Asasi Manusia
Pada tanggal 10 Desember 1994, kita memperingati Hari Hak Asasi Manusia,
ini penting dalam rangka kita memikirkan hak ekonomi setiap manusia, khususnya
hak pemenuhan kebutuhan dasar terhadap papan dan pangan, yakni hak untuk
memperoleh kesempatan yang sama atas perolehan sumber daya tanah serta
pembagian hasilnya yang adil
UUD 1945 memberikan jaminan bagi setiap warga Negara atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2). Untuk mencapainya
setiap warga Negara dalam hal ekonomi harus diperhatikan , dihormati danm
dilindungi.
C.
Meningkatkan Kualitas Keputusan Pengadilan
Masalh tanah dari segi yuridisnya merupakan sesuatu hal bersifat
kompleks. Dalam seuatu kasus, tidak jarang terlibat beberapa instansi yang
berkaitan dengan masalah/sengketa yang diajukan di pengadilan. Kesamaan konsep
diperlukan agar terdapat kesamaan persepsi yang menghasilkan keputusan yang
solid, adil bagi pihak-pihak yang meminta keadialn.
Permasalhan yang memerlukan persamaan persepsi misalnya:
Hak ulayat suatu masyarakat hokum adat. Hal ini meliputi:
konsepsinya
criteria berlakunya
ganti kerugian yang diberikan jika tanahnya untuk pembangunan
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
Sertfikat sebagai tanda bukti hak atas tanah
tanah Negara
Penggarapan rakyat atas tanah-tanah bekas perkebunan, tanah kehutanan dal
lain-lain yang meliputi status tanah, penguasaan defacto rakyat, prinsip
penyelesaian yang sesuai ketentuan yang berlaku
Pemindahan hak atas tanah jual beli, yang tetrkait dengan syahnya jual
beli, funfsi pendaftaran hak atas tanah, perlindungan terhadap pihak ketiga dan
lain-lain.
D.
Membaca dan memahami Undang-Undang
Membaca undang-undang merupakan proses berpikir yang cenderung reaktif
karena mendasarkan penilain lebih pada apa yang tersurat atau bersifat harfiah
semata. Memahami undang-undang merupakan proses berpikir reflektif yang
menunjukkan upaya untuk tidak sekedar berhenti pada hal-hal yang bersiafat
harfiah semata, namun berusaha menemukan makna yang tersirat yang justru tidak
tampak dari bunyi pasal tersebut.
Cara berpikir reflektif yang selalu mengaitkan antara konsep dan
operasional yang akan menghasilkan penilain yang obyektif merupakan tugas yang
memakan waktu lama dan pikiran yang barangkali kurang sesuai bagi mereka yang
terbiasa dengan budaya instant.
Pemikir reaktif melihat suatu peristiwa hokum dan menghubungkan dengan
pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan dengan lebih menitikberatkan
pada penemuan jawaban terhadap “apa” hukumnya dan “bagaimana” menerapkan dalam
peristiwa konkret tersebut. Sedangkan pemikir reflektif berusaha menghubungkan
antara apa yang dimaksudkan oleh bunyi pasal tersebut dengan “mengapa”, yakni
konsep/asas yang mendasarinya. Kemudian, berupaya “bagaimana” menerapkannya
dalam pe5ristiwa konkrit, sesuai denga pesan yang termuat dalam konsep/asas
yang mendasarinya, yang secara umum bertujuan untuk memberikan keadilan bagi
setiap orang. Tampaknya pertanyaan “mengapa” ini cenderung dihindari, padahal
wacana moral dan etika justru erat kaitannya dengan pemahaman tentang
konsep/asas yang tersembunyi di balik suatu pasal.
0 komentar
Post a Comment