Menjelang suksesi kepemimpinan nasional melalui pemilu 2014, suhu politik sudah mulai memanas. Di tengah-tengah gencarnya upaya Partai Golkar memenangkan Abu Rizal Bakrie sebagai presiden, tiba-tiba terdengar suara tidak sedap dan justru kontra produktif terhadap upaya tersebut. Pasalnya, hanya sehari menjelang Rapimnas V Partai Golkar di Jakarta tgl 22-23 November 2013, pencalonan Abu Rizal Bakrie dipersoalkan karena elektabilitasnya tak kunjung naik, kendati berbagai upaya untuk mendongkraknya telah dilakukan oleh tim sukses. Memang dibandingkan dengan calon-calon yang lain, ARB, sebutan untuk Abu Rizal Bakrie di kalangan tim suksesnya, paling intensif beriklan. Uniknya, yang mempersoalkan itu bukan sembarang orang, tetapi justru oleh salah seorang pendiri partai berlambang pohon beringin, Suhardiman.
Suhardiman, satu-satunya pendiri Golkar yang kini masih hidup, meminta ARB mengurungkan niat maju menjadi calon presiden dan cukup menjadi “king maker” dengan alasan sosiologis historis. Menurutnya, figur presiden Indonesia selama ini adalah orang Jawa. Sebab, orang Jawa merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Malah, menurut Suhardiman, alih-alih memenangkan pilpres, pencalon ARB justru akan menurunkan perolehan suara Partai Golkar dalam Pemilu Legislatif 2014 yang tinggal beberapa bulan lagi.
ARB dipandang tidak populer, lebih-lebih di Jawa Timur, karena tersandung masalah lumpur Lapindo. Selain itu, ARB dinilai tidak memiliki basis dukungan massa yang kuat. Dua organisasi besar yang merupakan sayap Partai Golkar, seperti Kosgoro dan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong juga tidak memberikan dukungan secara penuh. Padahal, dalam pemilihan langsung, basis dukungan massa mutlak diperlukan. Karena itu, wajar jika pencalonan ARB hingga kini masih dipertanyakan oleh internal Golkar sendiri.
Senada dengan Suhardiman, tokoh senior Golkar yang saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Akbar Tandjung dalam Rampinas itu juga mengatakan “Bila elektabilitas calon presiden tidak naik signifikan, perlu dipertimbangkan penentuan strategi atau opsi baru”. Yang mengejutkan pernyataan Akbar Tandjung memperoleh tepuk tangan meriah semua peserta Rapimnas, yang secara simbolik bisa diartikan setuju dengan pernyataan tersebut. Karena itu, pencalonan Akbar Tandjung belum aman sama sekali.
Melalui berbagai media, diketahui sejak semula Akbar Tandjung tidak begitu pas dengan pencalonan Abu Rizal Bakrie, dan hingga kini konsisten mempersoalkannya. Sebagai politisi senior yang sudah malang melintang dalam panggung politik Indonesia, ungkapan dan sikap konsisten Akbar Tandjung juga bukan tanpa alasan dan mestinya direnungkan secara serius oleh tim sukses ARB.
Tulisan ini hendak mengkaji pernyataan Suhardiman agar ARB mengurungkan niat maju menjadi calon presiden dan cukup menjadi “king maker” saja dengan alasan ARB bukan dari suku Jawa. Pertanyaannya adalah apakah presiden negeri ini harus orang Jawa? Mungkin pernyataan tersebut ada benarnya. Sebab, berdasarkan fakta sejarah, sejak Indonesia merdeka presiden-presiden negeri ini berasal dari suku Jawa, mulai Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan sekarang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Orang luar Jawa diberi jatah sebagai wakil presiden, seperti Bung Hatta, Umar Wirahadikusumah, Adam Malik, Hamzah Haz, terakhir Jusuf Kalla. Data tersebut semakin menegaskan pernyataan Suhardiman.
Satu-satunya presiden yang berasal dari luar suku Jawa hanyalah BJ. Habibie. Itu pun oleh sebagian orang dianggap sebagai kecelakaan sejarah, karena kepresidenannya diperoleh dalam masa transisi. Kendati BJ. Habibie berkali-kali menyatakan bahwa ibunya asli Jawa dan dari Solo, publik tetap berpendapat bahwa BJ. Habibie bukan orang Jawa.
Jika itu dipedomani, maka calon presiden setelah SBY adalah satu di antara calon-calon yang berasal dari suku Jawa, sehingga peluangnya ada pada Wiranto, Prabowo, Joko Widodo, Megawati, Pramono Edhie Wibowo (jika ketiga yang terakhir itu jadi maju). Calon-calon seperti Mahfud MD (dari Madura), Hatta Rajasa (dari Sumatra), Suryadharma Ali (Betawi), Surya Paloh (dari Aceh), dan lain-lain yang bukan Jawa diprediksi sangat sulit untuk memenangi kursi RI 1.
Masalahnya, apakah dengan semakin majunya masyarakat Indonesia dalam pemilu 2014 sejarah masih akan terulang bahwa presiden berasal dari suku Jawa. Mari kita renungkan sejenak. Secara politik, Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang didirikan atas kesepakatan untuk bersatu di atas keragaman etnis, bahasa, agama dan budaya. Semua kita tahu ketika memperebutkan kemerdekaan dari penjajah, tidak pernah terlintas di benak para pejuang kemerdekaan mengenai asal muasal, agama, suku, dan bahasa. Semua hanya punya satu tekat, yakni merdeka. Masalahnya adalah adalah ketika kemerdekaan telah diraih, mengapa persoalan asal muasal, suku, bahasa dan agama itu dimasalahkan?. Ini menjadi aneh. Toh di dalam undang-undang tidak ada satu kata pun yang menyebut presiden harus dari suku Jawa.
Kendati saya berasal dari suku Jawa asli, menurut saya dikotomi Jawa dan bukan Jawa sangat tidak produktif, dan karena itu saya tidak setuju. Mestinya setelah 68 tahun merdeka, bangsa ini bisa lebih dewasa dalam menentukan calon pemimpinnya. Kriteria untuk menjadi presiden utamanya adalah sosok yang tepat, siapapun dia dan dari manapun asalnya, yang dapat memajukan negara ini dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi, sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang disegani di dunia internasional.
Bangsa ini menghadapi permasalahan yang amat sangat kompleks, seperti kesenjangan kesejahteraan, rendahnya daya saing, korupsi yang masih merajalela, penegakan hukum yang lemah, negara agraris tetapi menjadi importir produk pertanian, dan tingginya angka pengangguran sehingga martabat bangsa ini rendah di mata bangsa-bangsa di dunia lainnya. Nyaris tidak ada lagi yang bisa dibanggakan oleh bangsa ini, kecuali luasnya wilayah, jumlah pulaunya yang mencapai 17. 000 lebih, penduduknya yang banyak, tanahnya yang subur dan pemandangannya yang indah.
Karena itu, pemimpin yang dibutuhkan saat ini adalah pemimpin super tangguh yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan tersebut, siapapun orangnya, asalkan dia orang Indonesia asli. Jadi bukan suku Jawa atau bukan suku Jawa. Karena itu, pemimpin yang populer karena dicintai rakyat – karena langkah dan kebijakan-kebijakan populisnya --- tidak cukup untuk bisa mengatasi persoalan dan mampu mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa besar karena kemajuannya. Bangsa besar bukan bangsa yang jumlah penduduknya besar, negerinya luas dan indah, melainkan yang berkualitas dan berperadaban maju. Singapura, negara kecil tetangga kita dengan hanya 4,5 juta penduduknya, tergolong bangsa besar di dunia dan mampu berdiri gagah di tengah-tengah bangsa lain di dunia karena kualitas mereka.
Mestinya kita mau belajar sejarah pendahulu kita sendiri dan juga dari bangsa-bangsa lain yang lebih maju. Mengapa para pejuang kita mampu mengusir penjajah dan akhirnya benar-benar merdeka dan menjadi bangsa yang berdaulat dan terhormat. Sebabnya adalah mereka bersatu dan dapat mengesampingkan perbedaan-perbedaan di antara mereka dari sisi suku, agama, budaya dan bahasa. Mengapa ada bangsa-bangsa yang maju? Karena mereka mau bekerja keras melebihi bangsa-bangsa lain.
Saat ini mestinya kita juga bisa bersatu mengisi kemerdekaan melalui pembangunan di segala bidang, terutama mencari upaya konkret menyelesaikan berbagai persoalan sebagaimana disebutkan di atas, sehingga yang dilakukan saat ini bukan menentukan asal muasal calon presiden, melainkan kriteria yang tepat untuk menjawab berbagai persoalan di atas. Tetapi memang harus disadari bahwa pemilihan umum adalah 100% arena politik. Dan, politik tidak hitam putih dan berjalan linier. Politik tidak seperti matematika di mana 2 + 2 adalah 4. Banyak hal yang tidak kasat mata dalam politik. Rumitnya, justru yang tidak tampak itu sering menjadi faktor penentu yang dominan. Karena itu, kendati dalam undang-undang tidak disebutkan faktor asal muasal seorang calon presiden, tetapi bisa saja dalam pemilu 2014 nanti faktor kesukuan justru menjadi prasyarat utama yang tidak tertulis, sehingga apa yang dikatakan oleh Suhardiman benar. Kita tunggu saja apakah bangsa ini sudah cukup dewasa atau masih emosional dalam memilih pemimpinnya. Semoga tidak salah!
0 komentar
Post a Comment