KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah dengan judul “Fiqh Zakat” dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam segala keteladanannya.
Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Hukum Perdata yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini, orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas kami.
Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi tim penulis khususnya dan pembaca yang budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya tugas ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
Malang, 12 Desember 2013
Khamim Muhammad M
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I : PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penulisan 4
1.4 Manfaat Penulisan 4
1.5 Metode Penulisan 4
BAB II : PEMBAHASAN 7
2.1 Zakat, Kewajiban dan Kedudukannya 7
2.2 Kriteria Harta yang Wajib di Zakatkan 8
2.3 Zakat Maal 10
2.4 Zakat Pertanian 11
2.5 Zakat Perdagangan 18
2.6 Zakat Hewan Ternak 20
2.7 Zakat Emas, Perak dan Tambang 25
2.8 Zakat Penghasilan 27
BAB III : PENUTUP 32
3.1 Kesimpulan 32
3.1 Saran 32
DAFTAR PUSTAKA 33
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Umat Islam adalah ummat yang mulia, umat yang dipilih Allah untuk mengemban risalah, agar mereka menjadi saksi atas segala ummat. Tugas umat Islam adalah mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, tentram dan saling mengasihi, saling memberi dan berbagi. Setiap umat Muslim berkewajiban untuk memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Al-Qur’an. Pada awalnya, Al-Qur’an hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya [syariat Islam]. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah, seperti: salat,haji,dan puasa yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah,sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa Pengertian Zakat, Kewajiban dan kedudukannya ?
2. Apa Kriteria Harta yang Wajib di Zakatkan dan Jenis-jenisnya ?
3. Bagaimana Zakat Mal ?
4. Bagaimana Zakat Pertanian ?
5. Bagaimana Zakat Perniagaan ?
6. Bagaimana Zakat Hewan Ternak ?
7. Bagaimana Zakat Zakat Emas dan Tabungan ?
8. Bagaimana Zakat Penghasilan dan Investasi ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan tugas ini adalah sebagaimana berikut :
1. Untuk mengetahui Pengertian Zakat, Kewajiban dan Kedudukannya.
2. Untuk mengetahui Kriteria Harta yang Wajib di Zakatkan dan Jenis-jenisnya.
3. Untuk mengetahui Zakat Mal.
4. Untuk mengetahui Zakat Pertanian.
5. Untuk mengetahui Zakat Perdagangan.
6. Untuk Mengetahui Zakat Hewan Ternak
7. Untuk mengetahui Zakat Emas, Perak dan Tambang.
8. Untuk mengetahui Zakat Penghasilan dan Investasi.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Memberi pengetahuan baru tentang Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia..
2. Memberi cakrawala baru pada pembaca Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia.
3. Memberi pengetahuan baru kepada pembaca perihal Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia.
4. Bagi peneliti, makalah ini sebagai penambah ilmu pengetahuan dan wawasan.
5. Bagi pihak lain, makahlah ini sebagai bahan pertimbangan dan acuan untuk penelitian lebih lanjut.
1.5 Metode Penulisan
Dari pembuatan dan penulisan Makalah “Fiqh Zakat” ini, penulis menggunakan metode studi pustaka yaitu salah satu metode yang digunakan dalam penulisan Karya Tulis (tugas) dengan cara mengumpulkan literatur baik berasal dari berbagai buku dan mencari inti-inti pembahasan mahar. Sehingga menjadi sebuah bahasan yang menarik pada tugas ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Zakat, Kewajiban dan Kedudukannya.
Secara bahasa, zakat itu bermakna : [1] bertambah, [2] suci, [3] tumbuh [4] barakah. Makna yang kurang lebih sama juga kita dapati bila membuka kamus Lisanul Arab. Sedangkan secara syara`, zakat itu bermakna bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah l wajibkan untuk diberikan kepada mustahiqqin (orang-orang yang berhak menerima zakat). Kata zakat di dalam Al-Quran disebutkan 32 kali. 30 kali dengan makna zakat dan dua kali dengan konteks dan makna yang bukan zakat. 8 dari 30 ayat itu turun di masa Mekkah dan sisanya yang 22 turun di masa Madinah. Sedangkan Imam An-Nawawi t mengatakan bahwa istilah zakat adalah istilah yang telah dikenal secara `urf oleh bangsa Arab jauh sebelum masa Islam datang. Bahkan sering disebut-sebut dalam syi`ir-syi`ir Arab Jahili sebelumnya. Sedangkan untuk istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini :
Pertama, shadaqah dapat didefinisikan sebagai pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan. Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Ketiga, shadaqah adalah sebutan bagi sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah).
Ø Kedudukan dan fadhilah zakat
Zakat merupakan salah satu pilar dari pilar islam yang lima, Allah l. telah mewajibkan bagi setiap muslim untuk mengeluarkannya sebagai penyuci harta mereka, yaitu bagi mereka yang telah memiliki harta sampai nishab (batas terendah wajibnya zakat) dan telah lewat atas kepemilikan harta tersebut masa haul (satu tahun bagi harta simpanan dan niaga, atau telah tiba saat memanen hasil pertanian).
Banyak sekali dalil-dalil baik dari al-quran maupun as-sunnah sahihah yang menjelaskan tentang keutamaan zakat, infaq dan shadaqah.
Sebagaimana firman Allah ltaala :“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah : 277 )
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar Ruum : 39 ) .
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah : 274 ) .
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah : 103 )
Adapun hadist-hadits nabawi yang menjelaskan akan keutamaannya antara lain : Dari Abu Hurairah a bahwa seorang Arab Badui mendatangi Nabi y seraya berkata, “Wahai Rasulullah, beritahu aku suatu amalan, bila aku mengerjakannya, aku masuk surga?”, Beliau bersabda : “Beribadahlah kepada Allah dan jangan berbuat syirik kepada-Nya, dirikan shalat, bayarkan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa di bulan Ramadhan,” ia berkata, “Aku tidak akan menambah amalan selain di atas”, tatkala orang tersebut beranjak keluar, Nabi y bersabda : “Siapa yang ingin melihat seorang lelaki dari penghuni surga maka lihatlah orang ini”. (Muttafaq ’alaih)
2.2 Kriteria Harta yang Wajib di Zakatkan.
Adapun kriteria harta kekayaan yang wajib dizakati adalah sebagai berikut:
1. Kepemelikan penuh (perfect title) Maksudnya harta kekayaan tersebut sepenuhnya milik pribadi dan tidak ada hubungannya dengan kepemilikan orang lain. Adapun harta yang tidak sepenuhnya milih sendiri, di antaranya: harta haram, harta wakaf, dan aset piutang yang masih di tangan orang.
1. Harta Haram (uang panas) Yaitu harta yang diperoleh dengan cara ilegal, seperti hasil curian, penipuan, korupsi, riba, penyelewengan, perjudian dan cara-cara lain yang tidak halal. Harta jenis ini secara esensial tidak dimiliki oleh si pemiliknya, meski harta tersebut dalam genggamannya. Harta/uang haram ini tidak wajib dizakati, namun harus dikembalikan pada pemilik aslinya, atau diserahkan pada pemerintah jika memang pemiliknya tidak ketahuan. Harta seperti ini tidak akan tetap haram baik disimpan sendiri atau disedekahkan, karena Allah tidak menerima sedekah dari harta kotor.
2. Harta wakaf (untuk kepentingan umum) Para ulama membedakan antara wakaf kepentingan individu dan kepentingan umum. Harta yang diwakafkan pemiliknya untuk kepentingan umum tidak wajib dizakati, sementara harta yang disumbangkan pada satu pihak tertentu atau perseorangan sehingga publik tidak bisa menikmatinya maka harta jenis ini wajib dizakati.
3. Piutang
Ada dua jenis piutang:
Ada dua jenis piutang:
1. Piutang aktif, yaitu piutang yang bisa diharapkan terbayar dan si pemberi hutang bisa mengambilnya sewaktu-waktu. Piutang jenis ini harus dizakati. Dimasukkan ke dalam keseluruhan harta kekayaan.
2. Piutang pasif, yaitu piutang yang tidak mungkin atau sulit untuk terbayar. Piutang passiva ini tidak wajib dikeluarkan zakatnya, akan tetapi kita tetap berkewajiban membayarnya ketika kita memang benar-benar sudah menerima pelunasannya, itupun, menurut pendapat mayoritas, hanya di tahun saat kita menerima pelunasan tersebut. Misalnya piutang itu berada ditangan peminjam selama 5 tahun, dan baru dikembalikan pada tahun ke-6, maka kita hanya kewajiban mengeluarkan zakatnya untuk tahun ke-6 itu saja dan tidak wajib mengeluarkan zakat untuk 5 tahun sebelumnya.
Imam Malik (pendiri madzhab Malikiyah) mempunyai prinsip lain, baik piutang aktif maupun pasif, keduanya sama-sama dizakati, dengan syarat selunasnya piutang itu. Kewajiban zakat itu pun hanya setahun di tahun saat menerima pelunasannya tersebut. Namun Imam Malik juga mensyaratkan satu hal, sang pemilik piutang bukan kategori orang yang menolak pelunasan agar ia terbebas dari wajib zakat. Jika demikian halnya, maka pemilik piutang yang seperti ini terkena kwajiban membayar zakat tiap tahun selama piutang itu belum lunas.
Perlu diingat, piutang yang kita bahas di atas adalah benar-benar uang piutang, maksudnya bukan piutang yang dikomersialkan. Jika piutang tersebut berupa barang (yang dikomersialkan), maka pemilik piutang harus membayar zakatnya setiap tahun dengan menggunakan uang yang ada dulu.
Perlu diingat, piutang yang kita bahas di atas adalah benar-benar uang piutang, maksudnya bukan piutang yang dikomersialkan. Jika piutang tersebut berupa barang (yang dikomersialkan), maka pemilik piutang harus membayar zakatnya setiap tahun dengan menggunakan uang yang ada dulu.
1. Berkembang (Produktif) Artinya bahwa harta tersebut bisa bertambah nilainya, baik pertambahannya secara nyata diupayakan atau sebenarnya harta itu berpotensi berkembang namun didiamkan oleh pemiliknya. Contoh harta yang mampu mendatangkan pemasukan secara nyata bagi pemiliknya adalah seperti ternak, barang dagangan, atau aset-aset tersebut berkembang sendiri seperti hasil bumi dan buah-buahan, dll. Dan contoh jenis harta yang berpotensi berkembang adalah seperi emas, harta simpanan, aksesori-aksesori mewah. Syarat "berkembang" ini mempunyai 2 arti penting dalam menentukan kategori aset wajib zakat, yaitu:
1. Untuk membedakan dari kekayaan yang mempunyai fungsi, walaupun itu sifatnya individual. Seperti perhiasan yang dipakai, mobil pribadi, perabotan rumah tangga, rumah pribadi, dll.
2. Memasukkan semua jenis aset kekayaan yang mempunyai karakter berkembang ke dalam kategori wajib zakat.
1. Mencapai nisab Apapun jenis aset yang kita miliki, kita tidak wajib menzakatinya sampai aset tersebut mencapai Nisab. Nisab aset-aset ini berbeda satu sama lain. Dalam proses audit nisab, disyaratkan harus sempurna setelah penotalan anggaran kebutuhan pokok berupa sandang, papan, pangan, peralatan kerja, dll. Maka nisab yang dianggap adalah nisab yang sudah terbebas dari biaya kebutuhan pokok untuk pribadi dan keluarganya.
Contoh: Jika si A mempunyai aset Rp. 75 juta, sementara ia harus melunasi hutang sebesar Rp. 7 juta dan untuk biaya kebutuhan pokok sebesar Rp. 15 juta. Maka aset wajib zakatnya adalah Rp. 53 juta.
Adapun nisab harta kekayaan adalah senilai 85 gram emas murni (menurut harga pasar). Jika aset pokok yang telah dikurangi anggaran kebutuhan pokok ini mencapai nisab maka harus dizakati. Jika kurang dari nishab, tidak wajib.
Contoh: Jika si A mempunyai aset Rp. 75 juta, sementara ia harus melunasi hutang sebesar Rp. 7 juta dan untuk biaya kebutuhan pokok sebesar Rp. 15 juta. Maka aset wajib zakatnya adalah Rp. 53 juta.
Adapun nisab harta kekayaan adalah senilai 85 gram emas murni (menurut harga pasar). Jika aset pokok yang telah dikurangi anggaran kebutuhan pokok ini mencapai nisab maka harus dizakati. Jika kurang dari nishab, tidak wajib.
2. Kepemilikan selama setahun (menurut kalender hijriyyah) Syarat wajib zakat yang terakhir adalah kepemilikan harta senilai nisab selama 12 bulan, menurut hitungan hijriyah. Tempo haul (setahun) ini dihitung sejak permulaan sempurnanya nisab dan tetap utuh sampai akhir tahun, meski mungkin pada pertengahan tahun sempat berkurang. Jika pada akhir tahun, jumlah tersebut berkurang dan tidak mencapai nisab lagi, maka si pemilik tidak wajib menzakatinya.
Ketentuan kepemilikan nisab secara utuh hingga akhir tahun ini dimaksudkan demi menghindari pengulangan dalam pembayaran zakat, sebagaimana larangan Rasul, "Tidak ada pengulangan dalam sedekah". Ini berarti bahwa tidak boleh misalnya jika kita mengeluarkan zakat untuk satu jenis aset kekayaan wajib zakat, kemudian beberapa bulan selanjutnya mengeluarkan zakat lagi.
Ketentuan haul ini hanya berlaku untuk aset-aset yang berkembang seperti komoditi komersial, ternak, simpanan, emas, perak, perhiasan dan lain-lain. Sedangkan aset-aset lain seperti hasil bumi, buah-buahan, barang tambang, dan kekayaan laut diambil zakatnya setelah sempurna perkembangannya dan mencapai nisab.(Jadi tidak menganut ketentuan harus memiliki nisab selama setahun). Begitu juga halnya al-mâl al-mustafâd, yaitu uang/kekayaan baru yang dimiliki seseorang dan belum dizakati sebelumnya. Artinya harta baru ini bukan dari produktifitas aset wajib zakat, namun sang pemilik mendapatkannya dari jalan yang terpisah dari aset wajib zakatnya. Seperti upah kerja (non-gaji), kompensasi, laba dadakan, dan hibah. Harta-harta jenis ini wajib dizakati langsung saat mendapatkannya -kalau memang sudah mencapai nisab- tanpa harus menunggu haul setahun.
Ketentuan kepemilikan nisab secara utuh hingga akhir tahun ini dimaksudkan demi menghindari pengulangan dalam pembayaran zakat, sebagaimana larangan Rasul, "Tidak ada pengulangan dalam sedekah". Ini berarti bahwa tidak boleh misalnya jika kita mengeluarkan zakat untuk satu jenis aset kekayaan wajib zakat, kemudian beberapa bulan selanjutnya mengeluarkan zakat lagi.
Ketentuan haul ini hanya berlaku untuk aset-aset yang berkembang seperti komoditi komersial, ternak, simpanan, emas, perak, perhiasan dan lain-lain. Sedangkan aset-aset lain seperti hasil bumi, buah-buahan, barang tambang, dan kekayaan laut diambil zakatnya setelah sempurna perkembangannya dan mencapai nisab.(Jadi tidak menganut ketentuan harus memiliki nisab selama setahun). Begitu juga halnya al-mâl al-mustafâd, yaitu uang/kekayaan baru yang dimiliki seseorang dan belum dizakati sebelumnya. Artinya harta baru ini bukan dari produktifitas aset wajib zakat, namun sang pemilik mendapatkannya dari jalan yang terpisah dari aset wajib zakatnya. Seperti upah kerja (non-gaji), kompensasi, laba dadakan, dan hibah. Harta-harta jenis ini wajib dizakati langsung saat mendapatkannya -kalau memang sudah mencapai nisab- tanpa harus menunggu haul setahun.
2.3 Zakat Mal.
Zakat Maal adalah zakat yang dikenakan atas harta (maal) yang dimiliki oleh individu atau lembaga dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara hukum (syara). Maal berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti ‘harta’.
Ø Syarat-syarat harta
Harta yang akan dikeluarkan sebagai zakat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Milik Penuh, yakni harta tersebut merupakan milik penuh individu yang akan mengeluarkan zakat.
2. Berkembang, yakni harta tersebut memiliki potensi untuk berkembang bila diusahakan.
3. Mencapai nisab, yakni harta tersebut telah mencapai ukuran/jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan, harta yang tidak mencapai nishab tidak wajib dizakatkan dan dianjurkan untuk berinfaq atau bersedekah.
4. Lebih Dari Kebutuhan Pokok, orang yang berzakat hendaklah kebutuhan minimal/pokok untuk hidupnya terpenuhi terlebih dahulu
5. Bebas dari Hutang, bila individu memiliki hutang yang bila dikonversikan ke harta yang dizakatkan mengakibatkan tidak terpenuhinya nishab, dan akan dibayar pada waktu yang sama maka harta tersebut bebas dari kewajiban zakat.
6. Berlalu Satu Tahun (Al-Haul), kepemilikan harta tersebut telah mencapai satu tahun khusus untuk ternak, harta simpanan dan harta perniagaan. Hasil pertanian, buah-buahan dan rikaz(barang temuan) tidak memiliki syarat haul.
Ø Macam-macamnya
1. Hewan ternak. Meliputi semua jenis & ukuran ternak (misal: sapi,kerbau,kambing,domba,ayam)
2. Hasil pertanian. Hasil pertanian yang dimaksud adalah hasil tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-mayur, buah-buahan, tanaman hias, rumput-rumputan, dedaunan, dll.
3. Emas dan Perak. Meliputi harta yang terbuat dari emas dan perak dalam bentuk apapun
4. Harta Perniagaan. Harta perniagaan adalah semua yang diperuntukkan untuk diperjual-belikan dalam berbagai jenisnya, baik berupa barang seperti alat-alat, pakaian, makanan, perhiasan, dll. Perniagaan disini termasuk yang diusahakan secara perorangan maupun kelompok/korporasi.
5. Hasil Tambang(Ma’din). Meliputi hasil dari proses penambangan benda-benda yang terdapat dalam perut bumi/laut dan memiliki nilai ekonomis seperti minyak, logam, batu bara, mutiara dan lain-lain.
6. Barang Temuan(Rikaz). Yakni harta yang ditemukan dan tidak diketahui pemiliknya (harta karun).
7. Zakat Profesi. Yakni zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (hasil profesi) bila telah mencapai nisab. Profesi dimaksud mencakup profesi pegawai negeri atau swasta, konsultan, dokter, notaris, akuntan, artis, dan wiraswasta.
2.4 Zakat Pertanian.
Hasil pertanian wajib dikenai zakat. Beberapa dalil yang mendukung hal ini adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqarah: 267). Kata “مِنْ” di sini menunjukkan sebagian, artinya tidak semua hasil bumi itu dizakati.
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآَتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin).” (QS. Al An’am: 141).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
“Tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq”
Dalil-dalil ini menunjukkan wajibnya zakat hasil pertanian yang dipanen dari muka bumi, namun tidak semuanya terkena zakat dan tidak semua jenis terkena zakat. Akan tetapi, yang dikenai adalah jenis tertentu dengan kadar tertentu.
Ø Hasil pertanian yang wajib dizakati
Pertama, para ulama sepakat bahwa hasil pertanian yang wajib dizakati ada empat macam, yaitu: sya’ir (gandum kasar), hinthoh (gandum halus), kurma dan kismis (anggur kering).
عَنْ أَبِى بُرْدَة عَنْ أَبِى مُوسَى الأَشْعَرِىِّ وَمُعَاذٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ الله -صلى الله عليه وسلم- بَعَثَهُمَا إِلَى الْيَمَنِ يُعَلِّمَانِ النَّاسَ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ لَا يَأْخُذُوا إِلاَّ مِنَ الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالتَّمْرِ وَالزَّبِيبِ
Dari Abu Burdah, bahwa Abu Musa Al-Asy’ari dan Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhuma pernah diutus ke Yaman untuk mengajarkan perkara agama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka agar tidak mengambil zakat pertanian kecuali dari empat jenis tanaman: hinthah (gandum halus), sya’ir (gandum kasar), kurma, dan zabib (kismis).
Dari Al Harits dari Ali, beliau mengatakan:
الصدقة عن أربع من البر فإن لم يكن بر فتمر فإن لم يكن تمر فزبيب فإن لم يكن زبيب فشعير
“Zakat (pertanian) hanya untuk empat komoditi: Burr (gandum halus), jika tidak ada maka kurma, jika tidak ada kurma maka zabib (kismis), jika tidak ada zabib maka sya’ir (gandum kasar).”
Dari Thalhah bin Yahya, beliau mengatakan: Saya bertanya kepada Abdul Hamid dan Musa bin Thalhah tentang zakat pertanian. Keduanya menjawab,
إنما الصدقة في الحنطة والتمر والزبيب
“Zakat hanya ditarik dari hinthah (gandum halus), kurma, dan zabib(kismis).”
Kedua, jumhur (mayoritas) ulama meluaskan zakat hasil pertanian ini pada tanaman lain yang memiliki ‘illah (sebab hukum) yang sama. Jumhur ulama berselisih pandangan mengenai ‘illah (sebab) zakat hasil pertanian.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada segala sesuatu yang ditanam baik hubub (biji-bijian), tsimar (buah-buahan) dan sayur-sayuran. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang merupakan kebutuhan pokok dan dapat disimpan. Imam Ahmad berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang dapat disimpan dan ditakar. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang dapat disimpan.
Tiga pendapat terakhir ini dinilai lebih kuat. Sedangkan pendapat Abu Hanifah adalah pendapat yang lemah dengan alasan beberapa dalil berikut,
عَنْ مُعَاذٍ أَنَّهُ كَتَبَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَسْأَلُهُ عَنِ الْخُضْرَوَاتِ وَهِىَ الْبُقُولُ فَقَالَ « لَيْسَ فِيهَا شَىْءٌ
Dari Mu’adz, ia menulis surat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya mengenai sayur-sayuran (apakah dikenai zakat). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sayur-sayuran tidaklah dikenai zakat.” Hadits ini menunjukkan bahwa sayuran tidak dikenai kewajiban zakat.
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ يَحْيَى عَنْ أَبِى بُرْدَةَ عَنْ أَبِى مُوسَى وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعَثَهُمَا إِلَى الْيَمَنِ فَأَمَرَهُمَا أَنْ يُعَلِّمَا النَّاسَ أَمْرَ دِينَهِمْ.وَقَالَ :« لاَ تَأْخُذَا فِى الصَّدَقَةِ إِلاَّ مِنْ هَذِهِ الأَصْنَافِ الأَرْبَعَةِ الشَّعِيرِ وَالْحِنْطَةِ وَالزَّبِيبِ وَالتَّمْرِ ».
Dari Tholhah bin Yahya, dari Abu Burdah, dari Abu Musa dan Mu’adz bin Jabal berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus keduanya ke Yaman dan memerintahkan kepada mereka untuk mengajarkan agama. Lalu beliau bersabda, “Janganlah menarik zakat selain pada empat komoditi: gandum kasar, gandum halus, kismis dan kurma.” Hadits ini menunjukkan bahwa zakat hasil pertanian bukanlah untuk seluruh tanaman.
Sedangkan pendapat ulama Zhohiriyah yang menyatakan bahwa zakat hasil pertanian hanya terbatas pada empat komoditi tadi, maka dapat disanggah dengan dua alasan berikut:
1. Kita bisa beralasan dengan hadits Mu’adz di atas bahwa tidak ada zakat pada sayur-sayuran. Ini menunjukkan bahwa zakat hasil pertanian diambil dari tanaman yang bisa disimpan dalam waktu yang lama dan tidak mudah rusak. Sedangkan sayur-sayuran tidaklah memiliki sifat demikian.
2. Empat komoditi yang disebutkan dalam hadits adalah makanan pokok yang ada pada saat itu. Bagaimana mungkin ini hanya berlaku untuk makanan pokok seperti saat itu saja dan tidak berlaku untuk negeri lainnya? Karena syari’at tidaklah membuat ‘illah suatu hukum dengan nama semata namun dilihat dari sifat atau ciri-cirinya. Lihat Al Wajiz Al Muqorin, hal. 59-60.
Pendapat Imam Syafi’i lebih dicenderungi karena hadits-hadits yang telah disebutkan di atas memiliki ‘illah (sebab hukum) yang dapat ditarik di mana gandum, kurma dan kismis adalah makanan pokok di masa silam –karena menjadi suatu kebutuhan primer- dan makanan tersebut bisa disimpan. Sehingga hal ini dapat diqiyaskan atau dianalogikan pada padi, gandum, jagung, sagu dan singkong yang memiliki ‘illah yang sama.
Nishob zakat pertanian
Nishob zakat pertanian adalah 5 wasaq. Demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. Dalil yang mendukung pendapat jumhur adalah hadits,
وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
“Tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq.”
1 wasaq = 60 sho’, 1 sho’ = 4 mud.
Nishob zakat pertanian = 5 wasaq x 60 sho’/wasaq = 300 sho’ x 4 mud = 1200 mud.
Ukuran mud adalah ukuran dua telapak tangan penuh dari pria sedang.
Lalu bagaimana konversi nishob zakat ini ke timbangan (kg)?
Perlu dipahami bahwa sho’ adalah ukuran untuk takaran. Sebagian ulama menyatakan bahwa satu sho’ kira-kira sama dengan 2,4 kg. Syaikh Ibnu Baz menyatakan, 1 sho’ kira-kira 3 kg. Namun yang tepat jika kita ingin mengetahui ukuran satu sho’ dalam timbangan (kg) tidak ada ukuran baku untuk semua benda yang ditimbang. Karena setiap benda memiliki massa jenis yang berbeda. Yang paling afdhol untuk mengetahui besar sho’, setiap barang ditakar terlebih dahulu. Hasil ini kemudian dikonversikan ke dalam timbangan (kiloan).
Taruhlah jika kita menganggap 1 sho’ sama dengan 2,4 kg, maka nishob zakat tanaman = 5 wasaq x 60 sho’/ wasaq x 2,4 kg/ sho’ = 720 kg.
Dari sini, jika hasil pertanian telah melampaui 1 ton (1000 kg), maka sudah terkena wajib zakat.
Catatan: Jika hasil pertanian tidak memenuhi nishob, belum tentu tidak dikenai zakat. Jika pertanian tersebut diniatkan untuk perdagangan, maka bisa masuk dalam perhitungan zakat perdagangan sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
Ø Kadar zakat hasil pertanian
Pertama, jika tanaman diairi dengan air hujan atau dengan air sungai tanpa ada biaya yang dikeluarkan atau bahkan tanaman tersebut tidak membutuhkan air, dikenai zakat sebesar 10 %.
Kedua, jika tanaman diairi dengan air yang memerlukan biaya untuk pengairan misalnya membutuhkan pompa untuk menarik air dari sumbernya, seperti ini dikenai zakat sebesar 5%.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا الْعُشْرُ ، وَمَا سُقِىَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ
“Tanaman yang diairi dengan air hujan atau dengan mata air atau dengan air tada hujan, maka dikenai zakat 1/10 (10%). Sedangkan tanaman yang diairi dengan mengeluarkan biaya, maka dikenai zakat 1/20 (5%).”
Jika sawah sebagiannya diairi air hujan dan sebagian waktunya diairi air dengan biaya, maka zakatnya adalah ¾ x 1/10 = 3/40 = 7,5 %. Dan jika tidak diketahui manakah yang lebih banyak dengan biaya ataukah dengan air hujan, maka diambil yang lebih besar manfaatnya dan lebih hati-hati. Dalam kondisi ini lebih baik mengambil kadar zakat 1/10.
Catatan: Hitungan 10% dan 5% adalah dari hasil panen dan tidak dikurangi dengan biaya untuk menggarap lahan dan biaya operasional lainnya.
Contoh: Hasil panen padi yang diairi dengan mengeluarkan biaya sebesar 1 ton. Zakat yang dikeluarkan adalah 10% dari 1 ton, yaitu 100 kg dari hasil panen.
Kapan zakat hasil pertanian dikeluarkan?
Dalam zakat hasil pertanian tidak menunggu haul, setiap kali panen ada kewajiban zakat.
Kewajiban zakat disyaratkan ketika biji tanaman telah keras (matang), demikian pula tsimar (seperti kurma dan anggur) telah pantas dipetik (dipanen). Sebelum waktu tersebut tidaklah ada kewajiban zakat. Dan di sini tidak mesti seluruh tanaman matang. Jika sebagiannya telah matang, maka seluruh tanaman sudah teranggap matang.
Zakat buah-buahan dikeluarkan setelah diperkirakan berapa takaran jika buah tersebut menjadi kering. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
عَنْ عَتَّابِ بْنِ أَسِيدٍ قَالَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُخْرَصَ الْعِنَبُ كَمَا يُخْرَصُ النَّخْلُ وَتُؤْخَذُ زَكَاتُهُ زَبِيبًا كَمَا تُؤْخَذُ زَكَاةُ النَّخْلِ تَمْرًا
Dari ‘Attab bin Asid, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menaksir anggur sebagaimana menaksir kurma. Zakatnya diambil ketika telah menjadi anggur kering (kismis) sebagaimana zakat kurma diambil setelah menjadi kering.”[19] Walau hadits ini dho’if (dinilai lemah) namun telah ada hadits shahih yang disebutkan sebelumnya yang menyebutkan dengan lafazh zabib (anggur kering atau kismis) dan tamr (kurma kering).
2.5 Zakat Perdagangan.
Harta perdagangan adalah sesuatu (selain uang) yang digunakan untuk menjalankan perdagangan, baik dengan pembelian maupun penjualan, yang bertujuan memperoleh keuntungan. Harta perdagangan meliputi makanan, pakaian, kendaraan, barang-barang industri, hewan, barang-barang tambang, tanah, bangunan, dan lain-lain, yang bisa diperjualbelikan.
Ø Landasan Hukum Zakat Perdagangan
Ibn al-Mundzir berkata, “para ahli ilmu sepakat bahwa dalam barang-barang yang dimaksudkan sebagai barang-barang dagangan, zakatnya dikeluarkan ketika telah mencapai hawl. Dalil mengenai pewajiban zakat perdagangan. Nabi saw bersabda sebagai berikut, Allah swt berfirman dalam al-qur’an surah al-Baqarah ayat 267 yang artinya hai orang-orang yang beriman, nafkakanlah (di jalan Allah) sebagian hasil usahamu yang baik-baik.
Menurut Mujahid, ayat di atas diturunkan berkenaan dengan perdagangan. Nabi saw bersabda sebagai berikut: “Dalam unta ada sedekahnya. Dalam sapi ada sedekahnya. Dalam kambing ada sedekahnya. Dan dalam bazz juga ada sedekahnya”
Abu ‘Amr bin Hammas meriwayatkan bahwa ayahnya berkata “saya pernah disuruh oleh Umar. Dia mengatakan,”Tunaikanlah zakat hartamu.’aku menjawab,’aku tidak mempunyai harta kecuali anak panah dan kulit. “Dia berkata lagi,’Hitunglah hartamu itu, kamudian tunaikan zakatnya”. Dari Samurah bin Jundab berkata: “kemudian daripada itu, Rasulullah saw memerintahkan kepada kami, untuk mengambil zakat dari semua yang kami maksudkan untuk dijual” (HR. Abu daud). Dari Abi Dzar, dari Nabi saw bersabda:”pada bahan pakaian wajib dikeluarkan zakatnya” (HR. Daruquthni dan Baihaki)
Ø Syarat Zakat Barang Dagangan
1. Nisab. Harga harta perdagangan harus telah mencapai nisab emas atau perak yang dibentuk. Harga tersebut disesuaikan dengan harga yang berlaku di setiap daerah.
2. Hawl. Harga harta dagangan, bukan harta itu sendiri, harus telah mencapai hawl, terhitung sejak dimilikinya harta tersebut.
3. Niat melakukan perdagangan saat membeli barang-barang dagangan.
4. Barang dagangan dimiliki melalui pertukaran. Jumhur, selain madzhab Hanafi, mensyaratkan agar barang-barang dagangan dimiliki melalui pertukaran, seperti jual beli atau sewa menyewa
5. Harta dagangan tidak dimaksudkan sebagai qunyah (yakni sengaja dimanfaatkan oleh diri sendiri dan tidak diperdagangkan).
6. Pada saat perjalanan hawl semua harta perdagangan tidak menjadi uang yang jumlahnya kurang dari nisab. Hal ini merupakan syarat yang lain yang dikemukakan oleh madzhab Syafi’i. Dengan demikian, jika semua harta perdagangan menjadi uang, sedangkan jumlahnya tidak mencapai nisab, hawlnya terputus. Syarat ini tidak diisyaratkan oleh madzhab-madzhab yang lain.
Ø Nisab Zakat Perdagangan
Zakat yang wajib dikeluarkan dari harta perdagangan ialah seperempat puluh atau sama dengan 2,5% harga barang dagangan. Mayoritas fuqaha sepakat bahwa nisabnya adalah sepadan dengan nisab zakat aset keuangan, yaitu setara dengan 85 gram emas atau 200 dirham perak. Penetapan nilai aset telah mencapai nisab ditentukan pada akhir masa hawl.
Hal ini disesuaikan dengan prinsip independensi tahun keuangan sebuah usaha. Adapun kondisi fluktuasi komoditas perdagangan muzaki selama masa hawl tidak dijadikan bahan pertimbagan penetapan tersebut. Selain itu, kategori zakat komoditas perdagangan dihitung berdasarkan asas bebas dari semua tanggungan keuangan, dengan demikian zakat tidak dapat dihitung kecuali pada waktu tertentu yaitu pada akhir masa hawl. Pada akhir masa hawl, tidak akan ada pengurangan lagi yang terjadi pada aset pedagang yang diwajibkan membayar zakat (usaha telah memasuki tahun tutup buku).
2.6 Zakat Hewan Ternak.
Ada tiga jenis hewan ternak yang wajib dizakati, yaitu:
1. Unta dan berbagai macam jenisnya.
2. Sapi dan berbagai macam jenisnya, termasuk kerbau.
3. Kambing dan berbagai macam jenisnya, termasuk kambing kacang (ma’iz) dan domba.
Mengenai kewajiban zakat pada tiga jenis hewan ini dijelaskan dalam hadits Anas bin Malik mengenai surat Abu Bakr tentang zakat.
Hewan ternak dapat dibagi menjadi empat macam:
1. Hewan ternak yang diniatkan untuk diperdagangkan. Hewan seperti ini dikenai zakat barang dagangan walau yang diperdagangkan cuma satu ekor kambing, satu ekor sapi atau satu ekor unta.
2. Hewan ternak yang diambil susu dan digembalakan di padang rumput disebut sa-imah. Hewan seperti ini dikenai zakat jika telah mencapai nishob dan telah memenuhi syarat lainnya.
3. Hewan ternak yang diberi makan untuk diambil susunya dan diberi makan rumput (tidak digembalakan). Seperti ini tidak dikenai zakat karena tidak termasuk hewan yang diniatkan untuk diperdagangkan, juga tidak termasuk hewan sa-imah.
4. Hewan ternak yang dipekerjakan seperti untuk memikul barang dan menggarap sawah. Zakat untuk hewan ini adalah hasil upah dari jerih payah hewan tersebut jika telah mencapai haul dan nishob.
1. Ternak tersebut ingin diambil susu, ingin dikembangbiakkan dan diambil minyaknya. Jadi, ternak tersebut tidak dipekerjakan untuk membajak sawah, mengairi sawah, memikul barang atau pekerjaan semacamnya. Jika ternak diperlakukan untuk bekerja, maka tidak ada zakat hewan ternak.
2. Ternak tersebut adalah sa-imah yaitu digembalakan di padang rumput yang mubah selama setahun atau mayoritas bulan dalam setahun. Yang dimaksud padang rumput yang mubah adalah padang rumput yang tumbuh dengan sendirinya atas kehendak Allah dan bukan dari hasil usaha manusia.
3. Telah mencapai nishob, yaitu kadar minimal dikenai zakat sebagaimana akan dijelaskan dalam tabel. Syarat ini sebagaimana berlaku umum dalam zakat.
4. Memenuhi syarat haul (bertahan di atas nishob selama setahun).
Dalil bahwasanya hewan ternak harus memenuhi syarat sa-imah disimpulkan dari hadits Anas bin Malik mengenai surat yang ditulis Abu Bakr tentang zakat,
وَفِى صَدَقَةِ الْغَنَمِ فِى سَائِمَتِهَا إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ شَاةٌ
“Mengenai zakat pada kambing yang digembalakan (dan diternakkan) jika telah mencapai 40-120 ekor dikenai zakat 1 ekor kambing.” Berdasarkan mafhum sifat, dapat dipahami bahwa jika hewan ternak bukan sebagai sa-imah, maka tidak ada kewajiban zakat dengan satu ekor kambing. Unta dan sapi diqiyaskan dengan kambing.
Sedangkan mengenai nishob dan kadar wajib zakat langsung dijelaskan dengan tabel-tabel berikut untuk memudahkan. Ketentuan ini berasal dari hadits Anas tentang surat Abu Bakr mengenai zakat. Sedangkan untuk ketentuan ternak sapi dijelaskan dalam hadits Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
بَعَثَنِى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى الْيَمَنِ فَأَمَرَنِى أَنْ آخُذَ مِنْ كُلِّ ثَلاَثِينَ بَقَرَةً تَبِيعًا أَوْ تَبِيعَةً وَمِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ مُسِنَّةً
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengambil dari setiap 30 ekor sapi ada zakat dengan kadar 1 ekor tabi’ (sapi jantan umur satu tahun) atau tabi’ah (sapi betina umur satu tahun) dan setiap 40 ekor sapi ada zakat dengan kadar 1 ekor musinnah (sapi berumur dua tahun).”
Kadar wajib zakat pada unta
Nishob (jumlah unta) | Kadar wajib zakat |
5-9 ekor | 1 kambing (syah) |
10- 14 ekor | 2 kambing |
15-19 ekor | 3 kambing |
20-24 ekor | 4 kambing |
25-35 ekor | 1 bintu makhod (unta betina berumur 1 tahun) |
36-45 ekor | 1 bintu labun (unta betina berumur 2 tahun) |
46-60 ekor | 1 hiqqoh (unta betina berumur 3 tahun) |
61-75 ekor | 1 jadza’ah (unta betina berumur 4 tahun) |
76-90 ekor | 2 bintu labun (unta betina berumur 2 tahun) |
91-120 ekor | 2 hiqqoh (unta betina berumur 3 tahun) |
121 ekor ke atas | setiap kelipatan 40: 1 bintu labun, setiap kelipatan 50: 1 hiqqoh |
Kadar wajib zakat pada sapi
Nishob (jumlah sapi) | Kadar wajib zakat |
30-39 ekor | 1 tabi’ (sapi jantan berumur 1 tahun) atau tabi’ah (sapi betina berumur 1 tahun) |
40-59 ekor | 1 musinnah (sapi betina berumur 2 tahun) |
60-69 ekor | 2 tabi’ |
70-79 ekor | 1 musinnah dan 1 tabi’ |
80-89 ekor | 2 musinnah |
90-99 ekor | 3 tabi’ |
100-109 ekor | 2 tabi’ dan 1musinnah |
110-119 ekor | 2 musinnah dan 1 tabi’ |
120 ke atas | setiap 30 ekor: 1 tabi’ atau tabi’ah, setiap 40 ekor: 1 musinnah |
Kadar wajib zakat pada kambing (domba)
Nishob (jumlah kambing) | Kadar wajib zakat |
40-120 ekor | 1 kambing dari jenis domba yang berumur 1 tahun atau 1 kambing dari jenis ma’iz yang berumur 2 tahun |
121-200 ekor | 2 kambing |
201-400 ekor | 3 kambing |
401 ke atas | setiap kelipatan seratus bertambah 1 kambing sebagai wajib zakat |
Berserikat (khulthoh) dalam kepemilikan hewan ternak ada dua macam:
Pertama: Khulthoh musyarokah, yaitu berserikat dalam pokok harta di mana nantinya tidak bisa dibedakan antara harta yang satu dan lainnya.
Contoh: Si A memiliki Rp.5 juta dan si B memiliki Rp.5 juta lalu keduanya membeli beberapa kambing. Bentuk serikat semacam ini dikenai zakat terhadap harta yang mereka miliki, seakan-akan harta mereka adalah milik satu orang.
Kedua: Khulthoh mujawaroh, yaitu berserikat dalam nishob hewan ternak yang memiliki keseluruhan haul yang sama dan kedua harta orang yang berserikat bisa dibedakan satu dan lainnya. Bentuk serikat semacam ini dikenai zakat seperti teranggap satu orang jika memenuhi syarat-syarat berikut ini.
1. Yang berserikat adalah orang yang dikenai kewajiban mengeluarkan zakat. Sehingga serikat yang terdapat kafir dzimmi dan budak mukatab tidak termasuk.
2. Telah mencapai nishob ketika diserikatkan. Jika tidak mencapai nishob ketika digabungkan, maka tidak ada zakat.
3. Sama dalam keseluruhan haul.
4. Berserikat dalam hal-hal berikut: (a) memiliki satu pejantan, (b) pergi merumput dan kembali berbarengan, (c) digembalakan pada satu padang rumput, (d) satu ambing susu, (e) satu kandang untuk beristirahat.
Jenis khulthoh yang kedua ini dianggap seperti satu harta padahal sebenarnya bisa dipisah karena berlandaskan hadits,
وَلاَ يُجْمَعُ بَيْنَ مُفْتَرِقٍ وَلاَ يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ وَمَا كَانَ مِنْ خَلِيطَيْنِ فَإِنَّهُمَا يَتَرَاجَعَانِ بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ
“Tidak digabungkan dua harta yang berbeda dan tidak dipisah dua harta yang menyatu karena khawatir ada kewajiban zakat. Jika ada dua harta yang bercampur, maka hitungan keduanya dikembalikan dalam jumlah yang sama. ”
2.7 Zakat Emas, Perak dan Barang Tambang.
Islam mewajibkan zakat emas,perak,hasil tanaman, buahan,binatang ternak, barang tambang dll. Pada kesempatan ini hanya membahas tentang emas, perak dan barang tambang.
Ø Dalil yang mewajibkan zakat emas dan perak
Dalil kewajiban zakat emas dan perak adalah berdasarkan firman Allah dalam Al-qur’an surat (at-Taubah: 34-35).
“….dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, Lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu."
Ø Beberapa pendapat para ulama tentang zakat emas dan perak.
a. Ulama fiqih, berpendapat bahwa emas dan perak wajib dizakati jika cukup nishabnya yaitu nishab emas 20 mithqol, nishab perak 200 dirham, mereka memberi syarat yaitu berlalunya waktu satu tahun dalam keaadan nishab juga jumlah wajib dikeluarkan adalah 2,5%.
b. Imamiah, berpendapat bahwa wajib zakat emas dan perak jika berada dalam bentuk uang dan tidak wajib dizakati jika berbentuk barang atau perhiasan.
c. Hambali, berpendapat bahwa uang kertas tidak wajib dizakati kecuali jika ditukar dengan emas dan perak.
d. Menurut tiga mazhab, berpendapat bahwa emas dan perak wajib dizakati jika dalam bentuk barang dan dalam bentuk uang mereka berbeda pendapat mengenai emas dan perak dalam bentuk perhiasan sebagian mewajibkan zakat dan sebagian lain tidak mewajibkannya.
e. Mengenai uang imamiah mewajibkan 1/5 atau 20% dari sisa belanja dalam satu tahun. Menurut Syafi’I, Maliki dan Hanafi uang kertas tidak wajib dizakati kecuali telah dipenuhi semua syarat yaitu telah sampai nishab dan telah cukup satu tahun.
Syarat wajib zakat emas dan perak adalah:
a. Milik orang islam
b. Yang memiliki adalah orang yang merdeka
c. milik penuh (dimiliki dan menjadi hak penuh)
d. sampai nishab
e. genap satu tahun
Para puqoha berbeda pendapat tentang hasil pertambangan yang wajib zakat: Abu Hanifah mewajibkan zakat pada hasil tambang yang bias dicetak musalnya emas, perak,kuningan dan tembaga. Abu Yusuf mewajibkan zakat pada hasil tambang yang digunakan untuk hisan misalnya permata. Imam Syafi’i zakatnya wajib pada emas dan perak jika telah dibersihkan dan mencapai senisab.
2.8 Zakat Penghasilan .
Barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan dan profesinya. Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam.
Yang pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor, insinyur, advokat seniman, penjahit, tukang kayu dan lain-lainnya.[
Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.
Penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-tengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil penghasilan setiap tahun, karena hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut. Berdasar hal itu, kita dapat menetapkan hasil penghasilan sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fikih sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat.
Dan karena Islam mempunyai ukuran bagi seseorang – untuk bisa dianggap kaya - yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran Junaih Mesir lama maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat seseorang untuk terkena kewajiban zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat dan orang miskin penerima zakat.
Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan itu harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil penghasilan dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin, seorang pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut.
Mengenai besar zakat, Penghasilan dan profesi dalam fikih masalah khusus mengenai penyewaan. Seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab.
Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegaskan lebih dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup pada akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab yang telah berumur setahun.
Akibat dari tafsiran itu, kecuali yang menentang, adalah bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau semacamnya sebulan dari dua belas bulan. Karena ketentuan wajib zakat adalah cukup nisab penuh pada awal tahun atau akhir tahun.
Pendapat guru-guru besar tentang hasil penghasilan dan profesi dan pendapatan dari gaji atau lain-lainnya yaitu kekayaan yang diperoleh seseorang Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan syariat agama. Jadi pandangan fikih tentang bentuk penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah "harta penghasilan." Sekelompok sahabat berpendapat bahwa kewajiban zakat kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu batas waktu setahun.
Yang diperlukan zaman sekarang ini adalah menemukan hukum pasti "harta penghasilan" itu, oleh karena terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa hasil penghasilan, profesi, dan kekayaan non-dagang dapat digolongkan kepada "harta penghasilan" tersebut. Bila kekayaan dari satu kekayaan, yang sudah dikeluarkan zakatnya, yang di dalamnya terdapat "harta penghasilan" itu, mengalami perkembangan, misalnya laba perdagangan dan produksi binatang ternak maka perhitungan tahunnya disamakan dengan perhitungan tahun induknya. Hal itu karena hubungan keuntungan dengan induknya itu sangat erat.
Berdasarkan hal itu, bila seseorang sudah memiliki satu nisab binatang ternak atau harta perdagangan, maka dasar dan labanya bersama-sama dikeluarkan zakatnya pada akhir tahun. Ini jelas. Berbeda dengan hal itu, "harta penghasilan" dalam bentuk uang dari kekayaan wajib zakat yang belum cukup masanya setahun, misalnya seseorang yang menjual hasil tanamannya yang sudah dikeluarkan zakatnya 1/10 atau 1/20, begitu juga seseorang menjual produksi ternak yang sudah dikeluarkan zakatnya, maka uang yang didapat dari harga barang tersebut tidak dikeluarkan zakatnya waktu itu juga. Hal itu untuk menghindari adanya zakat ganda, yang dalam perpajakan dinamakan "Tumpang Tindih Pajak."
Yang jelas pendapat tersebut diatas adalah pendapat ulama- ulama fikih meskipun yang terkenal banyak di kalangan para ulama fikih itu adalah bahwa masa setahun merupakan syarat mutlak setiap harta benda wajib zakat, harta benda perolehan maupun bukan. Hal itu berdasarkan hadis-hadis mengenai ketentuan masa setahun tersebut dan penilaian bahwa hadis-hadis tersebut berlaku bagi semua kekayaan termasuk harta hasil usaha.
Ø Ketentuan-ketentuan Zakat Profesi
Istilah zakat profesi adalah baru, sebelumnya tidak pernah ada seorang 'ulamapun yang mengungkapkan dari dahulu hingga saat ini, kecuali Syaikh Yusuf Qaradhowy menuliskan masalah ini dalam kitab Zakat-nya, kemudian di taklid (diikuti tanpa mengkaji kembali kepada nash yang syar'i) oleh para pendukungnya, termasuk di Indonesia ini.
Dalam ketentuan zakat profesi terdapat beberapa kemungkinan dalam menentukan nishab, kadar, dan waktu mengeluarkan zakat profesi. Hal ini tergantung pada qiyas (analogi) yang dilakukan :
Yang pertama, Jika dianalogikan pada zakat perdagangan, maka nishab, kadar, dan waktu mengeluarkannya sama dengannya dan sama pula dengan zakat emas dan perak. Nishabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 % dan waktu mengeluarkannya setahun sekali, setelah dikurangi kebutuhan pokok. Cara menghitung misalnya : jika si A berpenghasilan Rp 5.000.000,00 setiap bulan dan kebutuhan pokok perbulannya sebesar Rp 3.000.000,00 maka besar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 % x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp 600.000,00 pertahun /Rp 50.000,00 perbulan.
Yang kedua, Jika dianalogikan pada zakat pertanian, maka nishabnya senilai 653 kg padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5 % dan dikeluarkan pada setiap mendapatkan gaji atau penghasilan. Misalnya sebulan sekali. Cara menghitungnya contoh kasus di atas, maka kewajiban zakat si A adalah sebesar 5% x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp 1.200.000,00 pertahun / Rp 100.000,00 perbulan.
Yang ketiga, Jika dianalogikan pada zakat rikaz, maka zakatnya sebesar 20 % tanpa ada nishab, dan dikeluarkan pada saat menerimanya.[3] Cara menghitungnya contoh kasus di atas, maka si A mempunyai kewajiban berzakat sebesar 20 % x Rp 5.000.000,00 atau sebesar Rp 1.000.000,00 setiap bulan.
Mengenai waktu pengeluaran zakat profesi ini beberapa ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
1. Pendapat As-Syafi'i dan Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat
2. Pendapat Abu Hanifah, Malik dan ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat.
3. Pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz dan ulama modern seperti Yusuf Qardhawi tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen.
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Secara harfiah zakat berarti "tumbuh", "berkembang", "menyucikan", atau "membersihkan". Sedangkan secara terminologi syari'ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu sebagaimana ditentukan.
Zakat adalah sedekah yang wajib dikeluarkan umat Islam menjelang akhir bulan Ramadhan, sebagai pelengkap ibadah puasa. Zakat merupakan salah satu rukun ketiga dari Rukun Islam.
Zakat merupakan ibadah yang memiliki dimensi ganda. Oleh sebab itu zakat memiliki banyak arti dalam kehidupan ummat manusia, terutama Islam. Zakat memiliki banyak hikmah, baik yng berkaitan dengan Sang Khaliq maupun hubungan sosial kemasyarakatan di antara manusia, antara lain : Menolong, membantu, membina dan membangun kaum dhuafa yang lemah, zakat dapat Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki dari diri orang-orang disekitarnya berkehidupan cukup, apalagi mewah. Dapat mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, emurnikan jiwa (menumbuhkan akhlaq mulia menjadi murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan) dan mengikis sifat bakhil (kikir) serta serakah. Dengan begitu akhirnya suasana ketenangan bathin karena terbebas dari tuntutan Allah SWT dan kewajiban kemasyarakatan, akan selalu melingkupi hati.
Zakat adalah ibadah maaliyah yang mempunyai dimensi dan fungsi sosial ekonomi atau pemerataan karunia Allah SWT dan juga merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusian dan keadilan, pembuktian persaudaraan Islam, pengikat persatuan ummat dan bangsa, sebagai pengikat bathin antara golongan kaya dengan yang miskin dan sebagai penimbun jurang yang menjadi pemisah antara golongan yang kuat dengan yang lemah.
Ø Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi ( guru, dokter, aparat, dan lain-lain ) atau hasil profesi bila telah sampai pada nisabnya
Ø Profesi yang dizakati adalah profesi yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Dan profesi yang dikerjakan seseorang buat pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya
Ø Ketentuan-ketentuan zakat profesi adalah ditentukan batas minimal nishab dan harus menjalani haul (putaran satu tahun)
1.2 Saran
Harapan saya setelah tersusunnya tugas ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca. Dan saya juga menyadari tugas ini jauh dari kesempurnaan untuk itu saya mengharapkan keritik dan saran yang bersifat membangun untuk di jadikan bahan acuan dalam pemuatan tugas selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
.
Al-Jaziri Abdurrahman, Fiqh Empat Madzhab, Jakarta: Darul Ulum Press,2002
Al-Zuhayly Wahbah,Zakat Kajian Berbagai Mazhab,Bandung : Remaja Rosdakarya,2005
MufrainM. Arif i, Akuntansi dan Manajemen Zakat Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan,Jakarta: Prenada Media Group,2008
Zallum Abdul Qadim, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Bogor : Pustaka Thariqul Islam,2006
Rahmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al-Qur’an, Bandung, Mizan: 1990
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta, CV. Hajimasagung: 1992
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta, CV. Hajimasagung: 1992
Dr. Yusuf Qordawi, (1996). Hukum Zakat. Bogor: Litera Antar Nusa dan Mizan.
Zakat dan infaq,Satu solusi mengatasi Problema sosial di Indonesia,M.Ali Hasan,Jakarta: kencana,2006
Zakat dan infaq,Satu solusi mengatasi Problema sosial di Indonesia,M.Ali Hasan,Jakarta: kencana,2006
http://www.dpu-online.com/artikel/detail/7/1872/hukum-investasi-menurut-islam-
0 komentar
Post a Comment