Sunday, February 23, 2014

BAHASA INDONESIA DI TENGAH GEMPURAN GLOBALISASI DAN NASIB BAHASA DAERAH

 BAHASA INDONESIA DI TENGAH GEMPURAN GLOBALISASI DAN NASIB BAHASA DAERAH



Berita Kompas (29/12/09) tentang banyaknya penggunaan bahasa asing (Inggris) di hotel dan tempat hiburan dalam rangka menyambut malam tahun baru 2010 menarik untuk disimak. Ini mengingatkan kita pada kriktik sejarawan Swiss terkemuka, Hebert Luethy, sebagaimana dikutip Benedict Anderson (1990) bahwa “sebagai bahasa, bahasa Indonesia suka meminjam istilah asing apa saja dengan begitu melimpah, sehingga bahasa ini merupakan bahasa “sintesis”. Sikap sinis lain disampaikan oleh sejarawan Perancis , Jerome Samuel, sebagaimana dikutip P. Ari Subagyo (Kompas, 24/10/2009) bahwa penambahan puluhan ribu istilah baru secara cepat --- terutama demi perannya sebagai bahasa ilmiah--- membuat bahasa Indonesia “sama dengan bahasa baru”.
Kritik Luethy dan Jerome Samuel tidak berlebihan. Sebab, memang demikian keadaaanya. Sebagian orang berpendapat banyaknya istilah asing yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia bisa dimengerti sebab bahasa Indonesia tergolong muda dan tidak memiliki kosakata yang cukup untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dan tuntutan akibat kemajuan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi. Malah menurut Pramoedya Ananta Toer bahasa Indonesia miskin dan belang-bonteng dengan mengambil kata-kata semua bangsa di seluruh dunia, sehingga bahasa Indonesia menjadi sangat terbuka.
Yang lain berpendapat bahwa mengadopsi istilah asing merupakan salah satu cara terbaik dan cepat untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia yang jumlahnya masih sangat sedikit dibanding dengan bahasa-bahasa lain yang sudah mapan, seperti bahasa Inggris, Mandarin, Arab, Perancis, dan sebagainya. Jadi sah-sah saja. Malah menurut P Ari Subagyo (Kompas, 24/10/2009) dilihat dari derajatnya, bahasa Indonesia adalah bahasa yang sedang dipromosikan. Ia adalah bahasa yang belum jadi, dan karena itu diperlukan promosi dan kesetiaan yang besar dari pemiliknya.

Tetapi persoalannya adalah yang dilaporkan Kompas (29/12/2009: 2) bukan adopsi istilah asing  ke dalam bahasa Indonesia, melainkan penggunaan istilah asing (Inggris) secara utuh di hotel dan tempat-tempat hiburan untuk menyambut tamu yang akan merayakan malam pergantian tahun memasuki tahun baru 2010. Misalnya, di Hotel Gran Melia, Jakarta terpampang tulisan “Romantic Red Flair”, di Hotel Borobudur di Bogor Café terpampang tema “Special New Year’s Eve Buffet”. Tempat hiburan Ancol Taman Impian memasang  tema “Explore Your Imagination”. Hotel JW Marriot Surabaya memasang tema “The Spirit of Colours”,  sedangkan Sheraton Surabaya Hotel &Towers mengusung tema “Celebrations are Better When Shared”.
Penggunaan bahasa asing sebenarnya tidak saja di hotel dan tempat-tempat hiburan, tetapi juga di nama rubrik beberapa media cetak, seperti ‘Main Issue’, ‘Woman’s Secret’, ‘Man of the Month’, ‘Life Style’ dan sebagainya. Dengan demikian, konstruksi budaya yang dibangun media, disadari atau tidak, semakin memarginalkan posisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Padahal, seharusnya media massa memiliki peran sangat penting untuk memberikan contoh pengokohan jati diri bangsa melalui penggunaan bahasa nasional dan mengangkat kearifan lokal dengan tetap menjaga kelestarian bahasa daerah.
Menariknya lagi, menurut pihak penyelenggara, penggunaan bahasa Inggris tersebut supaya lebih mengena ke semua golongan masyarakat. Selain itu, penggunaan bahasa Inggris juga dinilai lebih kreatif, efektif, dan mudah dipahami. Bagi pengkaji bahasa, alasan penyelenggara hiburan dalam menggunakan bahasa Inggris bukan persoalan sederhana. Setidaknya menyiratkan beberapa hal. Pertama, kurang  percaya diri orang Indonesia terhadap bahasanya sendiri. Padahal, Presiden Yudhoyono usai pelantikannya sebagai presiden periode yang kedua mengajak segenap bangsa untuk menegakkan jati diri. Salah satunya melalui pengokohan budaya bangsa yang di dalamnya ada bahasa.
Kedua, dengan berbahasa asing, terutama bahasa Inggris, orang Indonesia merasa lebih keren. Tampaknya berbahasa tidak cukup hanya dengan maksud untuk menyampaikan pesan. Ada faktor lain mengapa orang milih bahasa tertentu dalam berkomunikasi. Salah satunya adalah faktor gengsi atau agar dianggap lebih keren. Jika ini yang dimaksudkan pilihan bahasa Inggris memang tidak salah. Sebab, selain sebagai salah satu bahasa internasional dan bahasa ilmu pengetahuan, bahasa Inggris memiliki jumlah peminat sangat besar dan tersebar di hampir seluruh penjuru dunia. Dengan berbahasa Inggris, orang merasa sebagai warga dunia.
Ketiga, dengan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya dalam berbagai aktivitas, tanpa disadari orang Indonesia lebih suka memromosikan bahasa asing daripada bahasa Indonesia. Sejak akhir 1990-an Indonesia menjadi lahan subur promosi bahasa asing. Kita bisa melihat menjamurnya lembaga-lembaga kursus bahasa asing di berbagai tempat, tidak hanya di kota besar, tetapi juga di kota-kota kecil di seluruh pelosok negeri, sehingga seolah-olah bahasa Indonesia tidak dianggap bahasa penting oleh pemiliknya sendiri. Malah ada kesan bahasa Indonesia “termarginalkan”.
Keempat, bahasa Indonesia terkena gempuran globalisasi, sehingga semakin tereduksinya nilai-nilai lokal dalam masyarakat. Indikasinya adalah semakin berkurangnya jumlah penutur bahasa daerah dan menurunnya  rasa bangga berbahasa Indonesia di kalangan masyarakat. Pengamat bahasa dari Universitas Airlangga, Listiyono Santoso, mengatakan dari 742 bahasa daerah yang ada di Indonesia,  273 di antaranya ada di Papua yang setiap tahun mengalami penurunan jumlah penutur.
Kelima, lemahnya rasa percaya diri penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah juga menggambarkan semakin rendahnya rasa setia masyarakat kita terhadap bahasa nasional dan lokal. Padahal, rasa setia bahasa sangat diperlukan untuk menjamin keberlangsungan sebuah bahasa. Bahasa yang penuturnya tidak lagi setia atau ditinggal penuturnya akan dengan sendirinya mati. Padahal, kematian bahasa merupakan kehilangan budaya yang tidak ternilai harganya.
Bagi kita sebagai bangsa yang sedang tumbuh dan berupaya mengokohkan jati dirinya agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju, kondisi di atas sangat memprihatinkan dan karenanya diperlukan kebijakan pemerintah mengatasi persoalan tersebut. Jika tidak, saya khawatir bahasa Indonesia akan menjadi bahasa “asing” karena melimpahnya kosakata asing dari berbagai bahasa di seluruh dunia dan pada saat yang sama bahasa daerah akan lenyap. Saya takut jika kita tidak akan lagi mendengar orang berbahasa daerah. Karena itu, jangan heran jika kelak anak orang Jawa tidak lagi bisa berbahasa Jawa!

0 komentar

Post a Comment